Kekhawatiran Berlebih

worry-about-hog-2030840_1920

Sumber Gambar dari Sini

Semua orang senang jadi obyek perhatian, dipedulikan, dikhawatirkan. Tapi jika kepedulian itu disampaikan secara berlebihan, maka akan berdampak buruk baik bagi obyek maupun pelaku perhatian.

***

Akhir pekan kemarin tak terlalu menyenangkan, bahkan melelahkan buat saya. Bahkan untuk mencuci baju dan menyetrika saja saya harus curi-curi waktu di tengah malam. Kali ini saya tengah menjalani episode, di mana kesempatan bersantai terasa begitu sempit karena waktu banyak dihabiskan untuk urusan pekerjaan dan macet jalanan.

Tapi saya tidak mau iri dengan kalian yang bisa pergi liburan dan bermain bersama keluarga, sahabat dan gebetan di akhir pekan. Itu sudah jadi rezeki kalian jika bisa memanfaatkan momen senggang untuk menyenangkan pikiran. Sudah rezeki saya pula untuk menerima kesempitan waktu untuk sekadar menulis dan membahagiakan diri sendiri hari ini.

Maka dari itulah, di sini saya tak ingin banyak bicara tentang keluhan yang melelahkan, melainkan ingin berfokus pada apa yang telah saya bicarakan di awal, yakni perihal kepedulian dan kekhawatiran.

Cerita bermula ketika saya pulang ke kontrakan adik di Cibaduyut, setelah mengurusi pekerjaan pada minggu sore. Sedikit informasi, adik saya sedang bekerja di perusahaan kontraktor selama beberapa bulan. Ia bertugas mendata dan mengawasi suatu proyek pembangunan sekolah.

Adik saya ini sejak pagi sudah bilang, kalau di hari tersebut ia akan pergi ke temannya di daerah Cimahi, katanya ingin belajar perhitungan yang berkaitan dengan pekerjaan “nge-cor”. Setelah saya telusuri, ternyata agenda tersebut bukan instruksi dari atasan, melainkan inisiatifnya sendiri yang ingin “belajar” agar nanti mahir jadi perencana pembangunan.

Saya menanggapinya dengan sedikit antipati, bahkan saya menyarankannya untuk tidak berangkat saja. Sebab posisinya ia sedang libur dan seharusnya istirahat saja atau belajar di kontrakan. Bukankah ia ingin melanjutkan studi ke luar negeri?

Tapi seperti biasa, ia tidak mengindahkan saran saya dan tetap pergi setelah maghrib. Saya mempersilakan ia membawa handphone saya untuk order grab agar transportasi jadi praktis dan lancar. Sementara saya menunggu di kontrakannya.

Satu jam, dua jam hingga lima jam berlalu. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam dan si adik belum juga pulang. Parahnya, ia sama sekali tidak memberi kabar, pun tak terjangkau ketika dikontak. Secara otomatis rasa khawatir hadir secara berlebihan. Terlebih, yang saya tahu Bandung adalah kota Cinderella di mana kondisinya sangat rawan di kala malam.

Sambil terus melawan pikiran negatif tentang kondisi adik, saya pun segera mengontak dan menelepon teman-temannya serta atasannya. Saya bahkan berniat menyusul ke Cimahi karena tak kunjung dapat informasi terbaru tentang adik.

Hingga kemudian waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Ada info dari orang kantornya bahwa adik saya masih di tempat nge-cor, dan akan segera pulang. Tak lama setelah kabar itu datang, adik saya juga memberi kabar bahwa dia akan pulang.

Mendadak lega hati saya, meski rasa kesal masih terasa. Kesal, mengapa sejak awal tidak memberi kabar? Mengapa seperti orang yang hidup sebatang kara dan sama sekali tak peduli dengan kakak yang sedang mencemaskannya? Mengapa sok-sok rajin bekerja dengan modus mencari wawasan, padahal sama sekali tidak bijak dalam manajemen waktu.

Begitulah. Bahkan ketika ia sudah memberi kabar, rasa kesal dan sebal tetap berjaya.

Lantas sekitar pukul setengah dua dini hari, si Adik pulang. Dia nyengir, tapi saya balas memelototinya. Saya sudah terlalu lelah untuk mengomel, makanya saya diam saja sambil terus membatin “Mengapa saya punya adik yang begitu menyebalkan!”.

***

Singkat cerita, dampaknya sungguh terasa pagi ini. Entah rasa khawatir yang tak terkendali itu akan berdampak bagaimana untuk kesehatan jiwa saya di jangka panjang. Tapi yang jelas, efek negatif sudah mulai terasa hari ini, di mana badan jadi terasa ngantuk dan lelah.

Sekian kisah saya hari ini. Pada intinya ini hanya tulisan unek-unek belaka. Jika ada pesannya, mungkin bunyinya seperti ini: Khawatir secukupnya saja. Jangan terlalu berlebihan, nanti kamu bisa lelah sendiri. Jangan pula khawatir berkepanjangan, sebab nanti obyek perhatian akan jadi jengah dan tidak nyaman.

Sekian.

Basa-Basi, Dilema Antara “Berbuat Baik” dan “PHP”

composing-2925179_1280
Orang Indonesia memang juaranya berbasa-basi, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Sikap ini sudah membudaya, diajarkan secara turun temurun, dan dianggap sebagai hal yang lumrah. Sebagai gantinya, orang yang tidak mahir berbasa-basi mungkin akan dianggap tidak peka, kurang sopan atau tidak tahu tata krama. Begitu pula dengan orang yang dianggap terlalu berlebihan dalam berrbasa-basi. Mungkin ia akan dianggap sok baik, terlalu berisik atau Pemberi Harapan Palsu (PHP).
Dilematis.
Basa-basi menurut KBBI adalah suatu adat, sopan santun dan tata karma pergaulan. Ia juga diartikan sebagai ungkapan yang digunakan hanya untuk sopan santun dan tidak untuk menyampaikan informasi. Dalam kehidupan sehari-hari, penerapan basa-basi bisa kita dapati dan lakukan ketika menyapa orang, menanyakan kabar teman hingga menawarkan bantuan.
Nah, untuk yang terakhir disebut, saya belum lama ini sempat merasa jadi korban basa basi orang yang menawarkan bantuan. Sebagai rekan kerja, saling berbasa basi sangat direkomendasikan demi kenyamanan selama berjam-jam di tempat kerja. Kami bersama tim saling bercengkrama, sesekali canda, lantas selebihnya bekerja menurut job desk masing-masing.
Hingga kemudian dia menawarkan bantuan yakni “kasih tumpangan motor” karena arah rumah kita searah. Saya yang memang senang dengan yang gratisan senang-senang aja ditawari begitu. Saya pun menumpang dia hingga beberapa hari kemudian.
Tapi rupanya saya tak peka, mungkin juga tak tahu diri. Dia yang pada awalnya menegaskan tidak bermasalah dengan helm, ternyata pada akhirnya bilang “takut ditilang polisi”. Dia yang pada awalnya mempersilakan saya menumpang, tapi kemudian sibuk cari rekan lain untuk kasih tebengan karena dia keberatan.
Di saat seperti itu, saya jadi merasa seperti orang hina yang menyusahkan. Ditambah pada dasarknya saya itu baperan. Seharusnya sejak awal saya peka dengan basa-basi itu. Seharusnya saya juga taat hukum dengan tidak menumpang motor tanpa helm. Jika begini kejadiannya, seharusnya sejak awal saya bersikap gentle dengan tetap minta diantar pulang sama Abang Grab saja.
Tapi kemudian saya berpikir lagi. Mengapa saya mendadak merasa jadi orang yang tak tahu terima kasih dan pendendam begini? Mana bisa saya menyebut pertolongannya memberi tumpangan Sang Teman sebagai praktik basa-basi yang diseriusi, lalu berujung pada keterpaksaan yang disembunyikan?
Seharusnya tidak begitu.
Seharusnya saya berprasangka baik, sebab faktanya, teman saya itu mungkin memang benar ingin menolong, merasa kasihan dan pada akhirnya menawarkan tumpangan. Ini mutlak kesalahan saya saja yang hanya berpikir dari sisi keuntungan saya sendiri. Harusnya saya berpikir lebih panjang, bahwa menumpang tanpa helm adalah berisiko, bahwa saya tidak boleh terus bergantung pada rekan yang baru saja dikenal, bahwa dia pun seharusnya tak sembarangan memberi tumpangan yang berisiko.
Sejenak kemudian saya bercerita pada teman tentang kebaperan saya yang berlebihan ini. Lalu dia bilang, bahwa kejadian tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh kami yang memang belum terlalu akrab. Jadinya ada saling tidak enak, lalu jadi banyak berprasangka yang macam-macam. Saya sepakat pada pendapatnya. Saya mau membiarkan ini berlalu saja. Semoga ini menjadi pelajaran buat saya agar lebih cerdas membedakan, mana basa-basi, mana bercanda dan mana yang serius.
Akhir kata, semoga kita semua bisa memberi dan menerima pertolongan sesame manusia dengan niat yang tulus dan tanpa prasangka buruk. Bersemangatlah!

 

Perihal 27, Jodoh, dan Gajah yang Tersenyum

girl-3028481_1280

Sejatinya, 27 hanya sebuah angka. Ia bisa diperoleh dari hasil penambahan, perkalian, hasil bagi, kurang, atau perhitungan matematis lainnya. Lantas mengapa saya repot-repot menuliskan si-27 di sini? Mengapa tak menulis angka lainnya?

Sebenarnya alasannya sederhana dan mudah ditebak. Pada catatan kali ini, saya sedang ingin menuliskan tentang momen kelahiran saya pada 19 september, 27 tahun yang lalu. Kalau hari ini adalah ulang tahun yang ke 17, mungkin angka 27 itu akan diganti dengan angka muda itu.

Kata orang-orang, angka 27 bagi orang single adalah “tua”. Katanya lagi, usia sekian ini harusnya sudah menikah dan punya anak. Lihatlah teman-teman di sekitar saya, kebanyakan sudah berkeluarga dan jadi Mamah-Mamah muda. Tapi apa boleh dikata, jodoh saya masih bersembunyi entah di mana. Atau, kalaupun dia tak sembunyi, mungkin sayalah yang masih sembunyi. Kita sejatinya lagi main petak umpet.

Entah kapan Tuhan akan mempertemukan kami, itu masih misteri. Bisa besok, pekan depan, bulan depan atau entah kapan, ditunggu saja tanggal mainnya. Harap maklum dengan tulisan yang berbau-bau galau ini. Karena riuhnya omongan orang-orang, saya memang jadi agak terpengaruh untuk urusan jodoh dan pernikahan.

Tapi saya tak mau melulu memikirkan itu. Toh jodoh tak begitu saja datang karena dipikirkan. Ia mungkin harus terus didoakan, dan juga diusahakan. Untuk jenis usaha agar jodoh cepat datang, mungkin saya harus melakukan ritual pemanggilan, atau pasang iklan berbayar. Sayangnya itu belum saya lakukan. Saya mau ikhtiar jenis yang lain saja. Ada saran?

Ketimbang melulu memikirkan jodoh, lebih baik saya sibuk memperbaiki kualitas diri yang nasibnya makin compang-camping saja. Usia boleh tua, tapi urusan jalan kedewasaan, saya masih tertatih-tatih. Ada egois yang masih kerap diumbar, pun ada belagu yang didendangkan tanpa lelah.

Meski egois dan belagu, tenang saja, saya masih berniat dan berupaya untuk memperbaiki diri. Salah satu langkahnya yakni dengan terus mencari tahu perihal teori-teori ideal di kehidupan. Saya bahkan masih memelihara cita-cita ingin seperti gajah. Maksud saya, bukannya saya ingin punya tubuh yang gemuk dan besar. Pada kenyataannya, meski banyak makan, badan saya tetap kecil mungil seperti semut.

Mengapa gajah, sebab saya dapat informasi, bahwa dialah hewan di hutan yang punya sabar tingkat paripurna. Gajah juga tak belagu dan sok kuasa meski badannya besar. Ia justru menebar kebaikan dengan cara membuka jalan dan aliran sungai. Gajah juga kabarnya merupakan simbol ilmu pengetahuan. Kamu tahu Archa Ganesha? Ia juga adalah patung yang bentuknya gajah.

Untuk menjadi sebijak dan secerdas gajah, atau setidaknya medekati kebijakan itu, waktu 27 tahun rasanya belum dan tidak akan cukup. Butuh tenaga ekstra untuk istikomah dalam kebaikan sehingga keinginan seperti gajah tidak sekadar mengambang di awang-awang.

Maka dari itu, ucapan terima kasih tak berhenti saya haturkan buat diri saya sendiri, karena masih sudi bertahan dan berjuang di hidup yang fana dan seperti mimpi ini. Semoga saya bisa terus bertahan sambil belajar agar bisa cerdas dan percaya diri menyongsong hari kemudian.

Di hari yang istimewa ini, ucapan terima kasih juga saya haturkan untuk semua orang yang mendoakan maupun tidak, tapi mereka masih sudi bersinggungan dan berinteraksi dengan saya, baik di jalur nyata maupun maya. Keberadaan kalian sangat membantu saya mewaraskan diri setiap hari.

Pada akhirnya, usia 27 hanya sebuah angka. Tapi karena telanjur dituliskan, angka ini akan saya peralat sejenak untuk jadi pendamping kontemplasi barang sejenak. Selanjutnya, semoga aksi tersebut bisa saya tindaklanjuti dengan serangkaian ritual pertaubatan, pembelajaran, dan jadi bekal semangat untuk bergerak menjadi lebih baik di hari ini dan hari esok.

Sekian.

Lalu saya lihat, Sang Gajah menatap, masih memerhatikan. Merasa sedang dibicarakan, dia tersenyum.

Sumber Gambar dari Sini

 

Membicarakan Perilaku Keturunan Priayi

bear-3145874_1280

Dari generasi ke generasi, ada sejumlah orang yang diizinkan Tuhan meraih ilmu dan kebijakan yang mumpuni. Izin itu tentu saja tak begitu saja diperoleh, melainkan didahului sejumlah perjalanan dan perjuangan yang ma’rifat. Pencapaiannya itu disambut dengan apresiasi banyak orang, sehingga mereka diberi gelar Wali, Kiai, Mama,  Ajengan dan gelar terhormat lainnya. Menjadi seorang Priayi.

Tersebutlah kakek buyut saya merupakan salah satu orang yang mengantongi izin dapat kehormatan itu. Kakek buyut bernama Zaenudin bin Malnasim, sementara istrinya adalah Urwiyah binti Marnawi. Jadi alurnya begini: Mereka punya sejumlah anak, salah satunya bernama Maemunah. Nenek Maemunah alias Nini Ae menikah dengan Kakek Marzuki alias Aki Ajuk, lantas punya sejumlah anak juga. Salah satu anaknya adalah Emak Yanti, yang merupakan ibu kandung saya.

Dalam tulisan sebelumnya, saya juga pernah bercerita tentang kisah karuhun dari keluarga bapak yang sangat jauh berbeda kondisinya dengan keluarga ibu. Untuk membaca kisah selengkapnya, klik di sini.

Orang-orang dari dulu hingga kini mendahului penyebutan nama kakek buyut dengan sebutan “Mama” atau “Kiai Haji” sebagai gelar penghormatan. Aksi penghormatan bahkan masih ditunjukkan setelah 44 tahun mereka meninggal. Orang-orang kerap berziarah ke makam kakek dan nenek buyut pada malam-malam tertentu, serta rutin menggelar acara haol dan manaqib setiap tahun untuk mengenang dan mendoakan almarhum.

Kisah dari Mulut ke Mulut

Semasa hidupnya, diceritakan bahwa kakek buyut merupakan pemimpin Pondok Pesantren Bangong (nama kampung kami) yang getol berbagi ilmu dan pengetahuan agama. Ia punya santri ribuan, yang mana kebanyakan dari santri-santri itu datang dari berbagai penjuru tanah jawa.

Kiai Zaenudin kerap disebut “Mama Alfiah” karena ia hapal bait demi bait kitab Alfiah, pun paham dan mengamalkan kandungan kitab berbahasa arab itu. Perjalanannya menuntut dan mengamalkan ilmu juga telah tersohor ke mana-mana. Pengalamannya mondok dua tahun di Makkah juga makin mempertegas kehormatan dirinya akibat menjadi ahli ilmu.

Bukan hanya dihormati, Mama Alfiyah juga disegani karena diyakini pinya sejumlah kesaktian. Di antaranya, pernah diceritakan beliau berjalan di bawah hujan, tapi seluruh badan dan pakaiannya tidak basah, seolah ada pelindung yang menyelimutinya. Pernah juga ada maling masuk ke rumahnya. Bukannya dapat barang berharga untuk dicuri, si maling justru kebingungan mencari pintu keluar.

Salah seorang anaknya, yakni Aki Ahmad (adiknya Nini Ae), juga pernah bercerita tentang kesaktian kakek buyut. Ketika ia muda, Aki Ahmad merengek minta uang untuk keperluan tertentu pada Kakek Buyut Zaenudin. Menanggapi permintaan anaknya, kakek menggelar sajadah, lalu shalat dan berdoa. Beberapa saat kemudian, ia menyibak sajadahnya, dan tiba-tiba ada sejumlah uang di sana.

Kejadian tersebut membuat orang-orang percaya bahwa Kakek Zaenudin bisa langsung minta pada Allah untuk memenuhi keperluannya. Kisah kesaktian Buyut Zaenudin tersebar dari mulut ke mulut, membuatnya jadi seperti realita yang berpotensi menjelma dongeng, tapi sepertinya seru jika kala itu bisa jadi saksi kesaktian Sang Kiai Haji.

grandparents-3436463_1920

Sementara itu, pasangannya yakni Nenek Buyut Urwiyah bin Marnawi alias Nini Iyah, merupakan seorang paraji atau dukun beranak. Keahliannya menolong orang yang ingin melahirkan juga tersohor ke mana-mana. Nini Iyah diceritakan, menolong ibu bersalin tanpa pandang bulu, tak mematuk bayaran tertentu, pun tak kenal waktu. Bahkan jika ia dimintai tolong tengah malam, di lokasi yang lumayan jauh dari rumahnya, ia akan tetap mengupayakan datang dan memberi pertolongan.

Tak sekadar membantu persalinan, Nini Iyah juga kerap memberi solusi ketika dihadapkan pada masalah seputar ibu dan bayi. Salah satu contoh, ada ibu yang mau melahirkan, tapi posisi bayi sungsang (kaki bayi ada di bawah, seharusnya kepala). Beliau pun melakukan tindakan pemijatan, tanpa bedah apalagi operasi, lalu beberapa saat kemudian posisi bayi bisa kembali normal dan siap dilahirkan.

Nenek buyut saya keren, bukan?

Ketika kecil, Emak pernah menceritakan salah satu kisah unik tentang Nini Iyah. Diceritakan, di malam yang tenang dan gulita, Nini Iyah diminta menolong ibu yang ingin melahirkan. Ia pun segera bersiap untuk berangkat, sembari membawa obor untuk penerang jalan. Nini Iyah bergegas melewati hutan dan jalan setapak yang menyeramkan.

Lalu dari kejauhan, sesuatu menyerunya. “Dagoan…! Dagoan…! Dagoan!” (Dagoan adalah kata bahasa sunda, artinya “Tunggu!”

castle-862700_1920

Suara itu terdengar aneh, seperti orang yang berteriak tapi hidungnya tersumpal. Suara itu kemungkinan besar bukan berasal dari golongan manusia, melainkan dari makhluk lainnya.

Nini Iyah sudah tahu kalau yang memanggil itu bukan manusia, dan tidak perlu ditanggapi apalagi ditakuti. Nini Iyah terus melangkah dengan obornya menuju ibu bersalin. Ia siaga menolong dengan gagah berani.

Ketika emak menceritakan kisah “Dagoan” Nini Iyah, saya agak merinding dibuatnya. Tapi di sela ketakutan itu, tebersit rasa bangga karena punya buyut yang berani dan selalu siaga menolong orang.

Haul Bani Marnawi

IMG_20180914_201505

Kita tidak pernah meminta untuk jadi anak dan keturunan siapa. Kita juga pastinya tidak akan menolak, bahkan bersyukur, kalau Tuhan rupanya menakdirkan kita lahir dari garis keturunan priayi. Begitu pun, kita akan tetap bersyukur apabila pendahulu kita merupakan orang yang dipandang biasa-biasa saja, tapi punya rasa sayang yang tak terhingga pada keluarganya.

Sebagai bagian dari keturunan Priayi, saya dan keluarga besar pun melakukan aksi syukur sebab menjadi bagian dari Bani Marnawi. Saya pribadi bersyukur dan bangga, sebab punya karuhun yang shaleh, hidupnya bermanfaat serta penolong bagi yang membutuhkan. Nah, salah satu wujud rasa syukur itu adalah dengan menjadi tuan rumah acara manaqib dan haul Bani Marnawi setiap tahun.

Awalnya, acara digelar sederhana dan biasa-biasa saja. Tapi sejak dua tahun ke belakang, didukung aliran dana yang lumyan dari beberapa cicit yang sukses dari segi finansial, acara haulan ini dibuat akbar, pakai panggung besar, tablig akbar dan makan bersama dalam skala besar.

Sekilas info, haul merupakan acara peringatan tahunan atas meninggalnya seseorang yang dianggap penting dan terhormat. Pada intinya, orang-orang diajak mendoakan almarhum/almarhumah sembari berharap ngalap barokah. Di acara haul, pesertanya akan merasa berkumpul dengan orang-orang shaleh, sehingga peluang perolehan “barokah” akan semakin besar.

Biasanya, acara ini diisi dengan doa bersama, hadiah untuk almarhum, ziarah, pembacaan manaqib/napak nilas tokoh serta tablig akbar. Peserta haul di antaranya para anak dan cucu, orang-orang di lingkungan tersebut, sert para tamu undangan. Semakin terkenal seseorang yang dihaulkan, semakin banyak pula peserta yang datang.

Saya sebenarnya tak terlalu banyak andil dalam mempersiapkan acara haul kakek. Ibu, paman, uwa dan bibi lah yang banyak berperan, dari mulai menyediakan konsumsi, tata panggung, penceramah, penggalangan dana untuk dhuafa dan tetek bengek lainnya. Mereka sibuk dan saling bekerja sama merancang acara agar berjalan baik dan sesuai rencana. Sebab ini berkaitan dengan wibawa Bani Marnawi, acara harus berjalan sempurna. Jngan sampai tamu yang datang merasa kecewa.

Menjadi Keturunan Priyayi, Mestikah Jemawa?

Tak bisa dipungkiri, ada jemawa yang sengaja atau tidak, bakal terbawa-bawa ketika kita menyadari diri ini sebagai keturunan orang hebat, macam kiayi yang priayi. Rasa bangga diri, tinggi derajat, terhormat di antara yang lainnya, mungkin sewaktu-waktu akan menyelusup ke dalam hati. Rasa-rasa tak bermutu itu, misalnya, berpotensi sembunyi dalam kedok “tahadduts bin nikmat” dan “ngalap barokah”.

Saya tidak membicarakan siapa-siapa, sebab tulisan ini utamanya ditujukan pada diri sendiri. Di antara rasa hormat dan takjub akan sosok Kakek dan Nenek Buyut, ada rasa takut untuk (sengaja atau tidak) mendompleng nama mereka untuk menuntut hormat dari manusia yang lainnya. Saya juga takut perilaku hati jadi tak terkendali, karena lontaran pujuan dan harapan selalu tertujukan bagi Bani Marnawi.

Ketika seseorang berbaris di garis keturunan orang-orang yang dianggap shaleh, ada di antara barisan itu yang merasa tertuntut untuk memantaskan diri agar ikutan hebat dan shaleh sebagaimana karuhunnya. Mereka lalu terinspirasi juga untuk belajar agama, banyak berbagi kebaikan, memimpin masyarakat, amar maruf nahi munkar serta melakukan banyak hal baik lainnya untuk kehidupan sosial.

Aksesoris kehormatan jangan sampai ketinggalan. Sorban putih, peci dan koko bersih, gamis menjuntai, tasbih terurai serta kerudung yang super panjang mesti jadi penyempurna. Penampilan macam itu akan mempertegas kehormatan dan keshalehan di mata orang awam.

Adalah sah-sah saja, jika kita yang masuk di barisan keturunan priayi, lantas ingin menempuh jalan meraih kehormatan, sebagaimana yang dicapai para karuhun terdahulu. Lagi pula, langkah-langkah itu adalah baik dan bermanfaat bagi diri sendiri dan umat. Tapi, upayakanlah agar langkah-langkah itu diiringi rasa sombong dan jemawa, sehingga gugur dan tertolaklah semua amal yang tampak indah itu di hadapan Allah yang kuasa.

Pada akhirnya, instrospeksi diri harus dilakukan setiap waktu, rutin dan disiplin. Sebab semakin seseorang dipandang shaleh dan terhormat, semakin besar pula ujian dan tantangannya dalam mengelola qolbu dari ragam penyakit akut. Jangan sampai kita terjebak pada perasaan melulu benar, selalu shaleh, senantiasa terpuji, lantas kita tak lagi bisa peka dengan perilaku qalbu yang busuk dan menghinakan.

Karuhun shaleh mendapatkan kehormatan atas usaha dan perjuangannya sendiri. Tapi ingatlah bahwa mereka sama sekali tak mewariskan kharisma dan kehormatan itu kepada anak cucunya. Mencontoh perilaku sholeh mereka tentu sangat dianjurkan. Tapi adalah salah jika merasa dapat bagian dari kepriayian itu tanpa melakukan usaha apa-apa. Lagi pula, adalah konyol jika sepanjang hidup hanya dihabiskan untuk mengejar-ngejar kehormatan dan pujian di hadapan orang-orang, padahal ada yang lebih penting dari itu semua, yakni dapat menempuh perjalanan yang benar untuk menjangkau Tuhan.

Jadi, jika mau mencontoh karuhun yang sholeh dan terhormat, mencontohlah yang benar. Mengaku sebagai keturunan priayi bukanlah untuk sekadar gengsi dan perolehan kehormatan. Mencontoh jejak sholeh sejatinya merupakan salah satu bentuk inspirasi dan petunjuk, agar kita juga bisa berlaku sama,  yakni membaguskan diri, bermanfaat buat banyak orang, serta memeroleh ridha Allah dengan jalan yang penuh perjuangan.

Kiranya demikian.

Sumber gambar: Pixabay.com dan dokumentasi pribadi

 

 

Kisah Pelik Menolak Sepi Ala Janda Perang (Review Film The Bookshop-2017)

Sutradara: Isabel Coixet
Tanggal Rilis: 10 November 2017 di Spanyol
Para Pemeran: Emily Mortimer, Bill Nighy, Patricia Clarkson dll
Genre: Drama
Durasi: 113 Menit

***

Florence Green (diperankan oleh Emily Mortimer) awalnya hanya ingin mewujudkan mimpinya mengelola toko buku. Tapi upaya mewujudkan mimpi itu harus diiringi kisah pelik sebab dianggap mengusik gengsi orang-orang yang merasa dirinya berkuasa.

Film yang bersetting tahun 1950 itu mencoba memberitahu kita, bahwa kala itu ide membuat toko buku belum terlalu populer, dianggap asing dan mungkin terlalu liberal. Nyonya Green lantas harus berhadapan dengan jajaran orang konservatif yang kurang bijak mendukung dunia literatur. Ketimbang membuka toko buku, lebih baik melestarikan budaya dan pusat seni.

Dalam film diceritakan, Nyonya Green memilih lokasi rumah tua dan kabarnya berhantu yang berada di pesisir kota kecil Hardborough, Suffolk untuk dijadikan toko bukunya. Motif utama dia berniat membuka toko buku sebenarnya tak disebabkan oleh kecintaannya kepada dunia literasi dan perbukuan semata. Justru rasa rindu kepada sang suamilah yang menjadi amunisi kekar, sehingga ia bersikukuh untuk mewujudkannya meski dikelilingi sejumlah pertentangan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Toko buku baginya punya peran penting dalam mengusir rasa sepi sebab ditinggalkan sosok suami tercinta. Suaminya diceritakan meninggal dunia akibat perang. Sebab di toko buku, ia dan suaminya pertama kali bertemu. Di toko buku pula mereka saling jatuh cinta. Pun di toko buku, mereka kerap menghabiskan waktu bersama untuk mengakrabi buku-buku.

Pertentangan pertama diterimanya dari bankir dan penduduk sekitar. Rencananya membangun toko buku di rumah tua dikritik, sebab mereka pikir, tidak ada yang tertarik untuk membaca karena terlalu sibuk dengan realita dan sejumlah pekerjaan lainnya. Ia juga tak dapat dukungan modal karena bisnis toko bukunya itu dianggap akan gagal.

Rupanya pertentangan demi pertentangan yang ditujukan pada Nyonya Green ditegaskan oleh seorang wanita kaya yang merasa punya pengaruh dan kuasa di Hardborough. Wanita paruh baya itu bernama Nyonya Violet Gamart (diperankan oleh Patricia Clarkson). Ia memang patut merasa berkuasa, sebab tampaknya ia punya aset berlimpah serta koneksi kuat hingga ke kursi parlemen.

Nyonya Gamart secara khusus mengundang janda perang itu untuk tidak meneruskan rencana pendirian toko buku, sebab orang kuasa itu punya ide lain yang dirasanya lebih cemerlang. Menurut Nyonya Gamart, lebih baik jika rumah tua itu dibuat pusat seni ketimbang dijadikan toko buku.

Di tengah kritik dan penolakan halus yang berseliweran, Nyonya Green tetap menegakkan kepala dan melangkah maju. Ia bahkan tidak mempertimbangkan saran Nyonya Gamart yang notabene tak boleh disentuh gengsinya. Nyonya Green lantas mulai membersihkan rumah tua, menata rak dan buku-buku, memasang plang “Bookshop” sembari mulai mempersilakan orang untuk berkunjung. Dalam kesibukannya mengelola toko, ia dibantu seorang gadis muda yang cerdas dan kritis, yang kemudian sangat disayangi oleh Nyonya Green.

Dalam kesabaran dan keahliannya menjaga pikiran positif, Nyonya Green juga mendapatkan perhatian dari seorang duda pecinta dunia literatur bernama Tuan Edmund Brundish (diperankan oleh Bill Nighy). Dalam ketertutupannya dari dunia luar–sebab tenggelam dalam buku-buku–Tuan Brundish menjadi pelanggan setia toko buku Nyonya Green. Ia bahkan banyak memberi saran dan rekomendasi buku bagus yang sekiranya laku dijual.

Namun kedamaian itu hanya berlangsung beberapa tahun saja. Ketika bisnisnya mulai maju, Nyonya Gamart, sang penguasa yang tampak halus namun ambisius, mulai nyata mengusiknya. Bagi Nyonya Gamart, tindakan Green dianggapnya fatal dan melukai kehormatannya. Gengsi Nyonya Gamart terluka karena Nyonya Green tak mengindahkan sarannya untuk menyerahkan pengelolaan rumah tua itu agar menjadi pusat seni saja.

Kesulitan demi kesulitan pun mulai mendera Nyonya Green. Di tengah ketegarannya dalam menghadapi orang berkuasa, ia bahkan harus menghadapi proses hukum yang dirancang khusus untuk mengubur mimpinya. Nantinya di akhir cerita, kita akan dapat hasil akhir dari perang dingin itu. Mungkin ending cerita akan sesuai atau tidak sesuai keinginan pemirsa. Tapi terlepas dari bagaimana akhir ceritanya, kita akan dengan mudah mengapresiasi segala usaha Nyonya Green yang didominasi keberanian dibalut ketenangan.

Bagi saya, daya tarik terbesar dari film ini adalah buku-buku. Selebihnya, adegan-demi adegan dalam film banyak dihiasi momen senyap, ekspresi-ekspresi yang lambat, adegan-adegan yang rikuh, musik yang mendayu-dayu serta sinematografi yang kece.

Sejujurnya kemasan seperti ini akan mudah membuat pemirsa bosan, tapi bagi mereka yang suka ketenangan, film ini akan mampu memanjakan mata dan pikiran.

Tapi tenang saja, sosok Nyonya Green yang serbapositif, buku-buku yang tertata rapi serta penggambaran lingkungan serbajadul jadi nilai plus sehingga kamu akan bisa tahan menonton film bertabur penghargaan bergengsi ini sampai akhir. Semoga terinspirasi!

Sumber Gambar dari Sini
Dan di sini 

Teknik Jitu Melawan Lurah Tiran (Review Novel Di Kaki Bukit Cibalak Karya Ahmad Tohari)

Judul: Di Kaki Bukit Cibalak
Pengarang: Ahmad Tohari
Penerbit : Gramedia
Tahun Terbit 1994
Tebal buku : 176 halaman

***
Ada apa di kaki bukit Cibalak? Oh… Rupanya ada sepsang muda mudi yang tengah menyelesaikan polemik cinta dalam perjalanan dari Desa Tanggir menuju Bandung. Mereka adalah Pambudi dan Mulyani yang tengah berusaha menegaskan perasaan cinta yang telah mendera keduanya sejak bertahun-tahun lamanya. Cinta itu selalu tertahan sebab perbedaan yang tak terjabarkan. Sebab ragu, Pambudi selalu membohongi hatinya yang sesungguhnya mencinta Mulyani. Sebab sabar, Mulyani senantiasa menanti dan menunggu ketegasan cinta pria baik yang dicintainya. Pambudi.

Lantas perjalanan yang tak direncanakan terjadi pada mereka. Pambudi diminta mengantar Mulyani pakai mobil menuju Bandung. Namun perjalanan mereka terhenti di kaki Bukit Cibalak. Pambudi dan Mulyani akhirnya membuat penyelesaian akan kisah cinta mereka yang bertahun-tahun menggantung, sementara Bukit Cibalak segera risau karena menduga Pambudi akan meninggalkannya demi Mulyani. Dan Bukit Cibalak membisu abadi.

***

Kejadian di kaki bukit Cibalak yang baru saya deskripsikan tadi menutup kisah kompleks pemuda Desa Tanggir bernama Pambudi. Meski kisah cintanya dengan Mulyani digambarkan di halaman sampul, pun menjadi penutup cerita, tapi kisah utama novel ini justru lebih kompleks dan berbobot sebab berkaitan dengan realita masyarakat Indonesia. Kisah cinta itu sejatinya hanyalah bumbu pemanis, ditujukan bagi pembaca yang menyukai kisah-kisah opera sabun.

Baca Artikel Lainnya: Cara Memulai Menulis dengan Benar

Apa yang kompleks dan berbobot? Rupanya sang penulis novel, yakni Ahmad Tohari, banyak mengangkat ragam masalah sosial yang hidup di era transisi (dari masa kuno dan tradisional menuju zaman digital yang serbamodern). Saya duga, Tohari “memperalat” seorang Pambudi (tokoh utama dalam novel), berwujud pemuda desa yang berkepribadian jujur, tegas dan cerdas untuk menyalurkan kritik-kritik sosialnya. Ia juga membuat dunia Pambudi seperti miniatur Indonesia, lantas ia pun mengajak kita berpikir tentang langkah perbaikan Indonesia lewat karya sastra.

Diceritakan, Pambudi yang hatinya lurus dengan tegas menolak tindakan lurah tiran bernama Pak Dirga. Sebagai bagian dari warga desa, ia tidak mau ikutan cari keuntungan di bawah penderitaan orang-orang desanya yang sengsara.

Ia secara terang-terangan menabuh genderang perang yang cerdas dan elegan. Salah satu cara yang dilakukan Pambudi dalam menolak tunduk pada penguasa dzolim itu yakni dengan menghimpun energi yang lebih besar lewat media massa. Tentu saja cara-cara perlawanan Pambudi diiringi niat tulus ikhlas membantu kaum lemah.

Merasa dilawan seorang pemuda biasa, Pak Lurah tak tinggal diam. Ia merasa punya kuasa sehingga bisa membuat fitnah untuk Pambudi, mengirim guna-guna, menekan keluarganya, membuat Pambudi harus terusir dari desa, hingga merebut Sanis, gadis belia yang telah lama ia cinta.

Tentu Pambudi merasa sedih dan kesal. Tapi setelah mendengarkan beragam nasihat, pada akhirnya ia mengalah untuk menang. Ketimbang melakukan serangan balik yang makan korban, lebih baik membaguskan diri, kualitas diri, tapi tetap kritis menyuarakan perbaikan untuk desa tercinta.

Baca Juga: Di Mana Ide Brilian Bersembunyi?

Pada kisah ini, Pambudi secara tidak langsung memberi tahu kita agar senantiasa kritis terhadap penyalahgunaan kekuasaan, terlepas dari seberapa besar skala kekuasaan itu. Perlawanan itu tidak dengan meledakkan bom atau membakar ban mobil sambil berdemonstrasi rusuh. Justru kritik dan upaya perbaikan bisa efektif dengan jalan yang elegan, sembari menggaet media massa. Selebihnya, ada kisah cinta Pambudi-Sanis atau Pambudi-Mulyani adalah bumbu pemanis yang mungkin penting untuk selingan.

Selain memberi tahu tentang cara jitu melawan penguasa tiran, saya terkesan dengan gaya penceritaan Tohari yang berlagak seperti dalang. Ia tak melakukan eksplorasi terhadap perasaan-perasaan abstrak para tokoh, pun tak merangkai kata dengan diksi yang akrobatik. Justru Tohari bermain-main di analogi dan fakta, dibalut penceritaan yang lugas dan serba realistis.

Ini merupakan nilai lebih dari seorang novelis yang juga menulis kisah “Ronggeng Dukuh Paruk” itu. Sebab dari caranya bercerita, kita jadi otomatis tahu bahwa ia merupakan orang yang kaya wawasannya, obyektif memandang realita, serta berpijak pada riset dan data.

Jadilah dari novel ini, pembaca bisa dapat faedah tentang realitas kondisi sosial masyarakat, bukan sekadar ikutan galau dengan kisah cinta para tokoh. Jadilah saya tak ingin kalian hanya merasa cukup membaca reviewnya. Lagi pula, ini bukan spoiler apalagi rangkuman novel. Makanya, segeralah membaca novelnya sehingga kamu bisa menindaklanjuti pembacaan itu dengan segenap apresiasi yang tak terduga.

Sekian.

Serba-Serbi Indonesia Dari Kaca Mata Sacha (Review Vlog Sacha Stevenson-Jobless Vlogger)

Sacha Stevenson pastilah merupakan perempuan yang cerdas tapi nyeleneh. Lahir di Kanada pada 21 Januari 1982, Sacha di mata saya merupakan salah satu wanita Inspiratif milik Indonesia. Rasa kagum ini disulut setelah saya menyaksikan hampir semua vlog buatannya bulan lalu.

Konten-kontennya sangat kompleks dan semuanya terasa mencerdaskan, kritis, out of the box serta menginspirasi. Meski begitu, dengan segenap kejeniusan yang ia punya, Sacha mengemas konten bergizi itu dengan ragam anekdot, parodi yang jujur, serta diiringi totalitas akting dan kualitas gambar yang memuaskan.

Lantas kalian—yang belum tahu—mungkin bertanya-tanya, konten semacam apakah yang disajikan oleh Sacha Stevenson dalam rangkaian vlog yang ia produksi bertahun-tahun hingga kini?

Dengan berbekal pertanyaan inilah, tulisan review vlog Sacha pun dibuat di Cerita Pengelana. Meski Sacha merupakan bule yang sangat terkenal, tidak menutup kemungkinan ada yang sampai detik ini belum tahu sosoknya.

Baca Juga: Step by Step Learning English

Sekadar informasi, tulisan ini sama sekali tidak ada unsur komersil. Sacha tidak secara pribadi membayar saya untuk membuat review tentangnya. Toh dia sudah sangat terkenal, pun telah menjadi Youtuber yang mapan. Anggap saja tulisan ini adalah semacam bentuk apresiasi dari fans, yakni saya sendiri, sebab video-video yang ia produksi, saya jadi punya bahan ide dan wacana di kepala. Singkatnya, Sacha itu termasuk salah satu sumber nutrisi yang sehat untuk modal saya menulis sehari-hari.

Mengajak Belajar Berbahasa Inggris Secara Benar

Menjawab pertanyaan di atas, saya mula-mula akan memperkenalkan tentang konten andalannya yang bertajuk “Seleb English”. Di rangkaian video-videonya, Sacha mereview cara sejumlah public figure, dari mulai kalangan artis, penyanyi hingga presiden dalam menggunakan bahasa Inggris. Tentu saja ia mumpuni untuk berkomentar dan mengoreksi, toh ia adalah seorang native speaker.

Namun jangan khawatir, Seleb English tak sekadar nyinyir, justru ia menyulut viewers untuk belajar bahasa Inggris lewat mempelajari kesalahan para seleb yang jadi obyek review. Tinjauannya cerdas dan akurat, diiringi dengan penjelasan teoritis yang tidak membuat kepala jadi pusing.

Yang membuat salut, Sacha membuat review tanpa sama sekali merendahkan obyek review. Bagaimanapun hasil penilaiannya, baik yang dinilai exelent (karena si seleb bisa bicara Inggris seperti native seperti Agung Hapsah) maupun yang dilabeli RIP English (karena bahasa inggrisnya kacau seperti Presiden Joko Widodo), tapi pemirsa bisa paham dan sama sekali tidak berpikir unruk merendahkan kualitas orang. Selebihnya, menonton Seleb English bisa membuat wawasan kamu menjadi semakin luas, bukan hanya dari segi berbahasa Inggris secara praktis, tapi juga dapat pengetahuan tentang sejumlah artis tanah air.

Baca Artikel Lainnya: K-Popers Pemuja Plastik?

Konten lainnya dari Sacha Stevenson adalah How To Act Indonesian. Di sini Sacha membuat ragam parody tentang kelakuan-kelakuan orang Indonesia yang dianggapnya ganjil. Sacha cukup cerdas mengemasnya sehingga kita-kita sebagai pihak tersindir, tidak merasa tersinggung. Justru, kita jadi banyak berpikir untuk jadi bahan kontemplasi dan introspeksi.

Dari serangkaian video parodinya, pesan Sacha terasa ke benak saya. Bahwa sejatinya, parody-parodi itu bukan bermaksud untuk merendahkan dan menjelek-jelekkan bangsa Indonesia. Justru ia telah mendeklarasikan diri sebagai bagian dari bangsa Indonesia, tinggal bertahun-tahun di Indonesia, belajar hingga lancar berbahasa Indonesia, serta menikah dan punya anak di Indonesia.

Video-video parody yang ia buat sejatinya adalah ungkapan kepedulian dan rasa sayangnya terhadap Indonesia. Ia beropini secara berimbang, tidak memanipulasi fakta, melakukan riset, dan terbitlah karya-karya How To Act Indonsia yang menghibur tapi bisa bikin mikir.

Meski begitu, parody Sacha tentang Indonesia pernah juga menuai kontoversi. Kala itu ia beropini tentang “Jualan Agama” hingga membuat salah satu komunitas agama tersinggung. Sacha pun menuai kecam meski sebenarnya ia tak bersalah menurut saya. Tapi begitulah Indonesia. Terkadang kita harus mengalah dan meminta maaf atas suatu kesalahan yang diklaim publik telah kita lakukan. Sacha pun minta maaf. Kecaman publik pun redam.

Selebihnya, video-video Sacha sangat family friendly. Ia pasti mempertimbangkan keberadaan keluarga suaminya, Angga Prasetya yang notabene sangat memegang adat ketimuran, memikirkan nasib anaknya Zoila Zee yang lucu—sebab Youtube adalah penghasilan utama keluarganya, serta sangat sadar akan selera orang Indonesia.

Vlog Sacha lainnya di antaranya menampilkan kisah coocking battle dengan suami, kisah rumah tangga beda budaya, tayangan kegiatan Baby Zee, tutorial make up, fashion dan apa saja yang dia rasa keren untuk ditampilkan. Ada juga sinetron produksi Sacha yang bisa bikin kamu ngakak sambil terkesima.

Jadi, buat kids zaman now, orang zaman old sampai orang-orang yang masuk fase transisi kelahiran era 90an, silakan menonton video-video bergizi dari Sacha jika ada akses ke Youtube, serta jika kalian punya waktu luang.

Semoga dari menyimak celotehan Stevenson di serangkaian videonya, kalian juga bisa ikut dapat ragam inspirasi yang segar. Vlog juga sangat direkomendasikan bagi kalian yang sedang mengasah kemampuan berbahasa Inggris, terutama dari sisi latihan speaking dan listeningnya.

Akhir kata, selamat mengapresiasi!

Untuk melihat video-video dari Sacha Stevenson, klik DI SINI

***

Sumber Gambar Utama dari screenshoot handphone

Fakta Unik Tentang Ayam yang Jarang Diketahui Orang

Kalau kebanyakan dari kalian sudah pernah atau bahkan sering makan daging ayam dengan ragam olahan, maka mungkin kalian masih awam dengan cara dan cerita memelihara ayam. Ini bukan kisah tentang ayam karbitan yang disuntik obat lantas tumbuh instan, ya! Tapi saya ingin bercerita tentang kehidupan ayam kampung, ayam yang tumbuh secara normal dan sehat, lalu kelak menghasilkan daging yang lezat.

Baca Juga: Ayam Pabrikan VS Ayam Kampung
//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Informasi yang terkandung dalam artikel ini kebanyakan diambil dari kisah pribadi. Di mana, saya menjadi saksi kegiatan Emak yang sedang keranjingan memelihara ayam. Kandangnya ada di samping rumah. Hingga kini, Emak punya empat pintu kos-kosan ayam.

Pintu kosan yang pertama diisi seekor induk ayam dengan tujuh anak. Pintu kedua dihuni satu induk lainnya dengan lima anak, Pintu ketiga diisi tujuh ABG alias Ayam Baru Gede yang usianya sudah menginjak tiga bulan, serta satu pintu terakhir diisi ayam jago. Emak juga punya ayam lainnya yang dititipkan di rumah Uwa. Tapi saya tidak tahu pasti beraa jumlahnya.

Baiklah, tak perlu panjang lebar berbasa-basi, mari segera kita bahas sejumlah Fakta Unik Tentang Ayam yang jarang kita ketahui:

  1. Bukan Hanya Flu, Ayam Juga Bisa Terjangkit Setruk

Sebagaimana hewan peliharaan lainnya, ayam juga butuh bergerak, mencari makan, mencakar-cakar tanah, serta bermain-main mencari ulat dan serangga di luar kandang. Kebutuhan itu wajib dipenuhi oleh pemeliharanya. Jika tidak, Si Ayam akan terjangkit stroke.

Ini terjadi pada ayam perdana milik Emak. Sekitar setahun lalu ia membeli dua ayam jago. Keduanya diurus, diberi makan enak, dimanjakan, tapi sangat jarang dikeluarkan dari kandang. Si Ayam mungki stress dan kurang olahraga.

Baca Juga: Cara Membuat Kerajinan dari Kertas kokoru

Dia juga pasti sedih melihat ayam lainnya yang bebas berkeliaran di luar. Alhasil, beberapa pekan kemudian badannya terdeteksi kaku dan lumpuh. Semacam kena stroke ayam. Kasihan. Satu ayam akhirnya mati, sementara ayam lainnya dititipkan ke tetangga agar diurus secara benar.

  1. Berisik Kalau Mau Bertelur

Setahun kemudian, Emak kembali memelihara ayam. Ini bermula ketika tetangga yang dititipkan ayam mengatakan, bahwa ayam milik emak yang dulu pernah stroke, kini telah beranak pinak. Emak senang bukan kepalang. Ia pun mengambil satu induk untuk dipelihara sendiri. Di sinilah awal mula kisah Emak memelihara ayam jilid II.

Belajar dari kesalahan di masa lalu, Emak tak lagi mengurung ayam di kandang. Sebab sebagaimana kata Ibu Sud dalam lagunya, “Tak Sangkar Beremas, Tak Umpan yang Lezat, Dapat Menggantikan Rasanya Merdeka”, ia pun membebaskan ayam bermain di siang hari, lalu mempersilakan mereka masuk kandang di sore hari hingga keesokan harinya.
//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Pada suatu ketika, salah satu ayam betina bersuara “petok petok” dengan nyaring dan dalam intensitas waktu yang sering. “Kenapa itu ayam?” tanya saya. Emak jawab, “Itu namanya mau bertelur”. Seperti itulah. Saya pikir dia sakit atau apa, rupanya ini gejala normal.

  1. Ayam Berpuasa

Ketika seekor ayam bertelur, ia akan mulai berpuasa selama sekitar 22 hari. Si ayam tidak akan turun kandang dan berkeliaran, sebab hanya berdiam menghangatkan telur-telurnya sepanjang hari. Ia juga akan jarang makan dan minum meski sudah ditawari. Makanya bobot induk ayam pasca mengerami telurnya akan sangat merosot. (Baca Juga: Pentingnya Imsak dalam Menulis) Begitulah seorang induk, ibu, dan semua orang yang ditakdirkan jadi medium utama tumbuhnya makhluk baru. Mereka itu semacam malaikat yang memesona.

  1. Mitos Soal Waktu Menetas

Kata Emak, berdasarkan cerita kolot di kampung, kalau telur ayam menetas pada pagi hari, maka bayi-bayi ayam yang menetas akan berjenis kelamin kebanyakan jantan alias jago. Tapi kalau sore atau malam hari, maka yang akan menetas itu betina. “Emang beneran begitu?” tanya saya. Lalu Emak jawab, “Ya namanya juga katanya, bisa betul bisa engga, ini kan berdasarkan pengalaman saja”.

  1. Misalkan Menetas Lima, Tidak Melulu Tumbuh Lima

Setelah ditetaskan, bayi ayam sangat rentan. Makanya induk ayam bisa menjadi sangat galak dan overprotektif, agar anak-anaknya bisa tumbuh dengan selamat. Meski telah dijaga pun, bayi ayam bisa saja mati karena takdir (hawa dingin, penyakit, kelainan sejak lahir, sampai diserang binatang lain). Jadi, kalau induk bertelur sembilan, maka bisa jadi yang tumbuh hanya tujuh, atau bahkan seekor saja.

Kemudian ada lagu yang dinyanyikan, “Tek Kotek Kotek Kotek, anak ayam berkotak. Anak ayam turun sembilan, mati satu tinggal delapan.” Saya awalnya berpikir, mengapa anak-anak diajari berhitung sembari diiringi lagu kematian? Rupanya inilah fakta kehidupan—ayam.

  1. Punya Daerah Teritorial

Ayam bisa saling mengklaim daerah kekuasaan. Jika ada ayam pendatang yang baru menetas, biasanya ayam yang sudah lama di area kandang akan menunjukkan penyambutan yang defensif. Penghuni lama cenderung menyerang dan bersikap galak. Entah apa maksud sikap itu sebenarnya. Mungkin saja mereka sedang melakukan ospek kepada pendatang baru. Entahlah.

Makanya kalau punya kandang, usahakan ada sekat-sekatnya. Seperti kos-kosan, induk ayam yang satu dengan yang lainnya harus dipisah. Tujuannya menghindari pertengkaran, pun menyelamatkan anak-anak kecil mereka dari luka akibat pertikaian ibu-ibu mereka.

Artikel Lainnya: Kepada Kita yang Gemar Mengobral Kata-Kata

  1. Ayam Juga Bisa Baper

Kalau di poin 3 saya menyebut soal pengorbanan seekor induk ayam untuk anak-anaknya, maka rupanya mereka juga bisa mengabaikan telur dan anaknya begitu saja. Maksudnya, telur ditetaskan di sembarang tempat sehingga pecah, atau ditetaskan tapi kemudian dibiarkan.

Kelakuan ini disebabkan induk tersebut baper karena merasa kandangnya direbut orang. Ia lantas jadi sedih atau marah dan merasa tersingkirkan, tak lagi punya kandang. Lalu ia menjadi liar. Ketika punya telur lagi, ia pun membiarkannya begitu saja.

Ini kisah nyata yang beberapa hari lalu terjadi pada ayam-ayam Emak. Awalnya, salah satu induk punya anak. Mereka otomatis tinggal di satu kandang, bukan? Nah, berbulan-bulan kemudian, anaknya jadi besar, dibuahi, bertelur, lalu punya anak lagi. Di waktu yang sama, si induk pun juga sedang akan bertelur dan mengerami telur baru. Tapi karena merasa tempat kekuasaannya direbut anaknya, si induk pun baper, memutuskan untuk tidak mengerami telur barunya.
//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Begitulah binatang. Terkadang di situ saya jadi merasa terkejut dan ingin ketawa sendiri. Telur-telur yang si induk ayam itu buang kemudian dipungut Emak, dimasukkan ke kulkas untuk nanti mungkin kita goreng untuk makan siang.

  1. Ragam Perilaku Sayang Induk Pada Anak

Kegiatan yang paling menyenangkan dari mengurus ayam adalah melihat interaksi antara induk ayam dan bayi-bayinya. Ketika mereka pulang ke kandang pada sore hari, saya akan sering menonton Emak memberi makan ayam-ayam itu.

Perilaku dan penampakan bayi-bayi ayam sangat lucu. Mereka suka berebut naik ke badan ibunya yang besar, atau mematuki mulut ibunya yang tertempel pakan. Ketika induknya mematuk makanan di titik satu, mereka akan segera mengerubungi.

Baca Artikel Lainnya: Jangan melulu Menyuguhkan Bahagia, Anak Juga Harus Diajarkan Cara Menghadapi Tragedi

Ketika induk mencakar tanah, mereka akan segera “ngariung” di sekitarnya sambil mematuk-matuk. Induk ayam hanya sekali patuk, makan sekedarnya, karena kelihatannya ia ingin anak-anaknyalah yang makan lebih banyak. Indah sekali pemandangan itu, teman.

***

Terlepas dari ragam kisah tentang ayam kampung, sesungguhnya saya baru bisa menceritakannya saja di tulisan. Saya sesungguhnya tidak banyak membantu Emak dalam mengurus ayam, kecuali hanya sedikit menjaganya dari kejauhan, atau mengambilkan makanan dan minumannya. Saya bahkan belum bisa memegang ayam-ayam itu karena ngeri hingga detik ini.

Meski begitu, saya harap tulisan ini bisa jadi ajang berbagi cerita dan pengalaman. Tulisan ini juga akan jadi kenang-kenangan, di mana saya rupanya pernah jadi saksi Emak yang memelihara ayam. Hahaha. Selebihnya, semoga dengan bersaksi macam begini, saya jadi lebih menghargai prosesi kehidupan yang serbamengagumkan.

Sekian.

Mengabadikan Jejak Kakek Amir yang Tertinggal di Bandara

waters-3022917_1920Di suatu pagi, ketika Bapak mengantarkan saya menunggu kereta di Stasiun Gambir, ada sedikit kisah tentang Kakek misterius bernama Amirsyah. Disebut kakek, sebab dia merupakan ayah kandungnya bapak kandung saya. Dikatakan misterius, sebab sejak lahir hingga 27 tahun kemudian, saya belum pernah melihat sosoknya, fotonya, maupun mendengar kisah tentangnya. Bagi saya Kakek Amir adalah misteri, entah bagi cucu beliau yang lainnya.

Entah mengapa pula, ketika prosesi menunggu kereta itu masih berlangsung, saya tergerak untuk menanyakan perihal keberadaan Kakek Amir pada Bapak Maruf. Dengan gaya reporter kekinian, saya menyulut sedikit tanya, lantas bapak segera menjawabnya dengan mata berkaca-kaca.

Bapak kala itu terdiam sejenak, sebab mungkin butuh waktu untuk membahasakan kenangan yang tidak terlalu membahagiakan di masa lalu. Ia juga mungkin perlu memilah kata yang tepat, agar cerita yang nantinya dituturkan pada anak perempuan nomor tiganya ini dapat dimengerti.

Saya menunggu, dan Bapak pun mulai mengeluarkan kalimat pertama.

Baca Juga Kisah Nostalgia Lainnya: Kisah Nostalgia Garap Skripsi Kala Itu

“He was a lonely old man, seorang laki-laki tua yang kesepian,” kata Bapak diakhiri senyum yang getir. Mendengar kata-kata pertama dari Bapak, sepertinya mendadak ada luka di hati saya. Perih. Ah, padahal belum ada cerita yang diutarakan, tapi aura muram langsung melingkupi kita. Sambil menunggu kata-kata bapak selanjutnya, saya menarik napas panjang, berusaha menahan air mata.

Ia menyebut Kakek Amir dengan sebutan “Ayah” dengan perasaan sedih campur bangga. Bagaimana tidak bangga punya ayah yang serba bisa. Dikatakan serba bisa, sebab Kakek Amir dalam pandangan Bapak punya ilmu yang banyak tur aplikatif. Kakek Amir bisa membuat ragam mebel, membuat atau membetulkan mesin, bisa mengolah makanan dan bahan kerajinan, serta tidak pelit mengajarkan keahliannya kepada sejumlah saudaranya. Kakek Amir bahkan punya Ayah (buyut saya) seorang kapten kapal.

Hasil pengajaran keahlian yang diturunkan Kakek Amir kemudian bermanfaat, di mana beberapa saudara-saudara kami bisa membuka bisnis macam-macam dan dapat sumber penghasilan. Atas ragam jasanya itu, Kakek Amir tidak pamrih, justru bahagia.

Kakek Amir semasa muda merantau dari kampung halamannya di Padang, Sumatera Barat, ke tanah Jawa. Entah bagaimana cerita detailnya, bertemulah ia dengan Nenek Aisyah alias Mak Ecot, di Bogor. Mak Ecot adalah ibunya Bapak, nenek kami.

Baca Juga: Cara Membuat Review Buku

Omong-omong soal Mak Ecot, kalau kalian ingin menertawakan nama panggilannya, tertawalah. Saya juga waktu pertama kali diperkenalkan dengan Nenek Ecot, pun tertawa. Tapi orang dulu memang begitu. Mereka menyebut orang dengan sebutan yang menggelitik perut. Dari Aisyah menjadi Ecot. Ini kocak. Tapi Mak Ecot adalah nenek yang sabar dan super baik. Meski sempat menertawakan namanya, toh ketika berhadapan dengannya, saya tetap hormat dan terkesima dengan kharismanya.

Baiklah, mari kembali ke kisah suami Mak Ecot, yakni Kakek Amir. Karena punya skill, cerdas dan serba bisa, Kakek punya banyak bisnis sehingga mampu menopang ekonomi keluarga. Tapi kondisi itu tidak bertahan lama karena sebuah kecelakaan mobil menderanya. Kakek Amir diceritakan jatuh ke jurang hingga mengalami luka-luka yang cukup serius. Tak sampai di sana, proses pengobatan kakek pun berlangsung lama dan menguras biaya.

Harta benda yang dipunya keluarga Kakek Amir satu per satu dijual untuk biaya pengobatan sekaligus memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Lama-kelamaan, harta itu terkuras tapi Kakek Amir tak kunjung sembuh. Ketika tragedi itu terjadi, Bapak Maruf (bapak saya) berusia sekitar SMP.

Meski tak dikatakan, saya duga Bapak dan seluruh keluarga merasa sedih, tentu saja. Kesedihan pertama karena harus menerima keadaan bahwa Ayahnya sakit parah, kesedihan selanjutnya, karena Kakek Amir sebagai satu-satunya tulang punggung keluarga tengah tumbang. Ekonomi keluarga jadi rapuh. Yang lebih membuat saya sedih, ketika situasi sulit itu terjadi, Kakek Amir dan Nenek Aisyah alias mak Ecot berpisah.

Entahlah, ini perpisahan macam perceraian atau apa. Tapi perpisahan itu membuat Kakek Amir sakit dan sendirian. Makanya kemudian Bapak menyebut Kakek Amir sebagai “A lonely old man”. Perpisahan dan ekonomi yang sulit itu membuat keluarga kakek Amir berpencar-pencar. Mungkin pertimbangan orang tua bapak kala itu, pendidikan dan sekolah anak-anak harus terus berlanjut.

Bapak dititipkan di Jakarta, diurus adiknya Mak Ecot dan disekolahkan juga. Bapak juga harus ikut bekerja membantu bisnis keluarga di sana, sehingga ia juga punya pengalaman di produksi Mi dan Tahu. Saudara-saudara bapak yang lainnya juga dititipkan di saudara yang lain. Tapi bapak tidak menjelaskan secara detil tempatnya.

Hingga tibalah akhir upaya pengobatan Kakek Amir. Bukan karena Kakek sembuh, justru sebaliknya, Kakek pergi untuk selama-lamanya.

Kronologinya begini, Kakek Amir yang sudah lama terbaring di rumah sakit selalu dapat kunjungan, perawatan dan perhatian dari bapak. Hanya bapaklah satu-satunya anak yang mengunjungi Ayahnya, sebab mungkin anak-anak Kakek Amir terbatas jarak sehingga terkendala untuk membesuk kakek.

Bapak tak menyebutkan tanggal dan tahunnya, tapi ketika itu ia masih berusia SMP. Seperti biasanya, Bapak datang berkunjung ke rumah sakit membesuk kakek. Lalu Kakek minta dibelikan makanan, bubur kalau tidak salah. Bapak saya pun segera pergi keluar untuk memenuhi permintaan Kakek. Tapi ketika ia kembali ke bangsal tempat kakek dirawat, yang didapati bapak justru hanya Kakek Amir yang sudah tinggal jasad.

“Ayah pergi gitu aja, pas ditinggal sebentar, langsung udah gak ada,” kata Bapak. Kesedihan itu terasa lagi, bahkan rasanya berkali-kali lipat. Setelah itu kami mengambil jeda. Tanpa dibicarakan, saya dan bapak sepakat untuk sama-sama terdiam beberapa saat.

***

“Kata Uwa Tati (kakaknya Bapak), makam Kakek di Soekarno Hatta ya, Bapak?” tanya saya kemudian, ketika kami sudah sama-sama puas di momen jeda barusan. Sebelumnya, saya memang dapat sedikit cerita tentang kakek Amir dari Uwa. Kata beliau, Kakek Amir pada awalnya dimakamkan di area Bandara Soekarno Hatta. Namun makam itu sudah tidak ada lagi karena kena dampak penggusuran untuk pembangunan bandara.

Makam Kakek dibenamkan begitu saja di sana, tanpa dipindahkan jasad ataupun nisannya. Alasannya, kala itu keluarga besar tak punya biaya untuk membayar proses pemindahan dan pembelian lahan makam yang baru. “Padahal biayanya cuma berapa waktu itu, tapi, ya karena keluarga gak mampu, kita pasrah jadinya,” kata Uwa Tati kala itu, dengan nada bicara yang sedih. matanya juga basah.

Andai saja kala itu saja ada di sana, saya ingin kirim sejumlah uang dari tahun 2018 ke masa itu, sehingga makam Kakek bisa dipindahkan ke tempat lain yang dirasa layak. Sehingga anak cucunya bisa berziarah ke makam yang jelas lokasinya kapanpun kami mau.

Tapi sudahlah. Kata Inul, masa lalu biarlah masa lalu. Siapa sangka, meski tak bermakam, Kakek ditakdirkan punya anak yang sudi bercerita tentngnya. Siapa sangka dia juga ditakdirkan punya cucu yang menuliskan tentangnya, yang ingin selalu mendoakannya di alam sana.

Siapa sangka pula, kisah tentang Kakek Amirsyah berpeluang dibaca oleh keturunan lainnya, juga oleh orang asing lainnya. Semoga banyak orang yang pandai mengambil hikmah dari kisah kakek Amirsyah.

Lagi pula, pasti keluarga Kakek di masa itu juga berpikiran untuk bisa memindahkan makan Kakek ke tempat yang layak. Mereka juga pastinya tidak menginginkan makam itu digusur begitu saja. Tapi apalah daya, ketidakberdayaan membuat mereka tidak kuasa membela penghormatan terakhir terhadap Kakek Amir. “Yang penting sekarang doanya saja, anak cucu harus selalu kirim doa buat Kakek,” kata Uwa Tati kemudian.

Lantas perihal makam Kakek saya konfirmasikan pada Bapak. Ia pun membenarkan tentang kejadian tersebut. Tapi Bapak tak banyak berkomentar tentang kejadian itu. Meski sedih, mungkin memang sudah takdirnya seperti itu. Mau bicara apa pun, kita tidak akan pernah bisa menemukan jejak jasad dan makam Kakek di Bandara Soekarno Hatta. Yang bisa dilantunkan saat ini hanyalah doa. Semoga arwah Kakek Amirsyah tenang di alam sana.

Ketika kisah tentang kakek diakhiri, kereta belum juga datang. Tapi karena adzan dzuhur telah berkumandang, kami pun sepakat untuk mampir ke masjid dekat stasiun dan shalat secara bergantian. Di tengah perenungan, saya merasa bersyukur bisa tahu sedikit tentang sejarah keluarga. Saya juga senang bisa menuliskannya di sini, sehingga cerita ini berpeluang dibaca oleh saudara-saudara yang lainnya, atau bahkan diketahui oleh anak dan cucu saya di masa depan.

Untuk saat ini, entah apa manfaat yang saya dapatkan secara nyata, tapi dengan mengetahuinya, saya bisa merasa bangga punya karuhun yang tingkat kesabaran dan ketabahan luar biasa. Meski keturunan Amirsyah tidak punya banyak kenangan dengan kakek, meski foto dan makamnya pun kami tak punya, cerita tentang Kakek Amir tetaplah menggugah hati.

Kecerdasan dan ketabahannya dalam menjalani segenap tragedi diharapkan menjadi fondasi bagi kita, keturunan Amirsyah, agar bisa terampil dalam bertahan hidup, pun berjuang di kehidupan yang serbamengejutkan ini.

Maka dari itu, bersyukurlah bagi kalian yang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bisa mengunjungi kakek dan nenek ke alamat yang jelas, entah itu ke rumah (jika mereka masih hidup), atau ke makam bernisan (jika mereka sudah meninggal). Beruntunglah kalian, sebab masih bisa berinteraksi dengan mereka diiringi hati yang lega.

IMG-20180616-WA0006

 


Sumber Gambar dari sini

Soundtrack Lagu Terbaik untuk Mengiringi Momen Perpisahan (Review Lagu OASIS Don’t Look Back In Anger)

lirik terjemah oasis

Kata orang, kita bisa meminjam semangat, kebahagiaan serta energi positif lainnya dari lagu. Ketika sedang sedih ataupun kecewa, lagu pilihan bisa sangat membantu memulihkan suasana hati yang sedang redup agar kembali cerah, atau setidaknya kesedihan itu jadi tidak terlalu lebay.

Baca juga: Mengapa Kita Merasa Kecewa?

Begitulah yang saya lakukan ketika sedang melewati momen yang muram, di mana saya harus menghadapi situasi perpisahan, padahal sudah telanjur sayang. Ini sebenarnya tak bisa sepenuhnya disebut review, sebab didominasi curhat dan apresiasi lagu saja. Selengkapnya, baca di sini


Sumber Gambar dari Sini