Kisah Pelik Menolak Sepi Ala Janda Perang (Review Film The Bookshop-2017)

Sutradara: Isabel Coixet
Tanggal Rilis: 10 November 2017 di Spanyol
Para Pemeran: Emily Mortimer, Bill Nighy, Patricia Clarkson dll
Genre: Drama
Durasi: 113 Menit

***

Florence Green (diperankan oleh Emily Mortimer) awalnya hanya ingin mewujudkan mimpinya mengelola toko buku. Tapi upaya mewujudkan mimpi itu harus diiringi kisah pelik sebab dianggap mengusik gengsi orang-orang yang merasa dirinya berkuasa.

Film yang bersetting tahun 1950 itu mencoba memberitahu kita, bahwa kala itu ide membuat toko buku belum terlalu populer, dianggap asing dan mungkin terlalu liberal. Nyonya Green lantas harus berhadapan dengan jajaran orang konservatif yang kurang bijak mendukung dunia literatur. Ketimbang membuka toko buku, lebih baik melestarikan budaya dan pusat seni.

Dalam film diceritakan, Nyonya Green memilih lokasi rumah tua dan kabarnya berhantu yang berada di pesisir kota kecil Hardborough, Suffolk untuk dijadikan toko bukunya. Motif utama dia berniat membuka toko buku sebenarnya tak disebabkan oleh kecintaannya kepada dunia literasi dan perbukuan semata. Justru rasa rindu kepada sang suamilah yang menjadi amunisi kekar, sehingga ia bersikukuh untuk mewujudkannya meski dikelilingi sejumlah pertentangan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Toko buku baginya punya peran penting dalam mengusir rasa sepi sebab ditinggalkan sosok suami tercinta. Suaminya diceritakan meninggal dunia akibat perang. Sebab di toko buku, ia dan suaminya pertama kali bertemu. Di toko buku pula mereka saling jatuh cinta. Pun di toko buku, mereka kerap menghabiskan waktu bersama untuk mengakrabi buku-buku.

Pertentangan pertama diterimanya dari bankir dan penduduk sekitar. Rencananya membangun toko buku di rumah tua dikritik, sebab mereka pikir, tidak ada yang tertarik untuk membaca karena terlalu sibuk dengan realita dan sejumlah pekerjaan lainnya. Ia juga tak dapat dukungan modal karena bisnis toko bukunya itu dianggap akan gagal.

Rupanya pertentangan demi pertentangan yang ditujukan pada Nyonya Green ditegaskan oleh seorang wanita kaya yang merasa punya pengaruh dan kuasa di Hardborough. Wanita paruh baya itu bernama Nyonya Violet Gamart (diperankan oleh Patricia Clarkson). Ia memang patut merasa berkuasa, sebab tampaknya ia punya aset berlimpah serta koneksi kuat hingga ke kursi parlemen.

Nyonya Gamart secara khusus mengundang janda perang itu untuk tidak meneruskan rencana pendirian toko buku, sebab orang kuasa itu punya ide lain yang dirasanya lebih cemerlang. Menurut Nyonya Gamart, lebih baik jika rumah tua itu dibuat pusat seni ketimbang dijadikan toko buku.

Di tengah kritik dan penolakan halus yang berseliweran, Nyonya Green tetap menegakkan kepala dan melangkah maju. Ia bahkan tidak mempertimbangkan saran Nyonya Gamart yang notabene tak boleh disentuh gengsinya. Nyonya Green lantas mulai membersihkan rumah tua, menata rak dan buku-buku, memasang plang “Bookshop” sembari mulai mempersilakan orang untuk berkunjung. Dalam kesibukannya mengelola toko, ia dibantu seorang gadis muda yang cerdas dan kritis, yang kemudian sangat disayangi oleh Nyonya Green.

Dalam kesabaran dan keahliannya menjaga pikiran positif, Nyonya Green juga mendapatkan perhatian dari seorang duda pecinta dunia literatur bernama Tuan Edmund Brundish (diperankan oleh Bill Nighy). Dalam ketertutupannya dari dunia luar–sebab tenggelam dalam buku-buku–Tuan Brundish menjadi pelanggan setia toko buku Nyonya Green. Ia bahkan banyak memberi saran dan rekomendasi buku bagus yang sekiranya laku dijual.

Namun kedamaian itu hanya berlangsung beberapa tahun saja. Ketika bisnisnya mulai maju, Nyonya Gamart, sang penguasa yang tampak halus namun ambisius, mulai nyata mengusiknya. Bagi Nyonya Gamart, tindakan Green dianggapnya fatal dan melukai kehormatannya. Gengsi Nyonya Gamart terluka karena Nyonya Green tak mengindahkan sarannya untuk menyerahkan pengelolaan rumah tua itu agar menjadi pusat seni saja.

Kesulitan demi kesulitan pun mulai mendera Nyonya Green. Di tengah ketegarannya dalam menghadapi orang berkuasa, ia bahkan harus menghadapi proses hukum yang dirancang khusus untuk mengubur mimpinya. Nantinya di akhir cerita, kita akan dapat hasil akhir dari perang dingin itu. Mungkin ending cerita akan sesuai atau tidak sesuai keinginan pemirsa. Tapi terlepas dari bagaimana akhir ceritanya, kita akan dengan mudah mengapresiasi segala usaha Nyonya Green yang didominasi keberanian dibalut ketenangan.

Bagi saya, daya tarik terbesar dari film ini adalah buku-buku. Selebihnya, adegan-demi adegan dalam film banyak dihiasi momen senyap, ekspresi-ekspresi yang lambat, adegan-adegan yang rikuh, musik yang mendayu-dayu serta sinematografi yang kece.

Sejujurnya kemasan seperti ini akan mudah membuat pemirsa bosan, tapi bagi mereka yang suka ketenangan, film ini akan mampu memanjakan mata dan pikiran.

Tapi tenang saja, sosok Nyonya Green yang serbapositif, buku-buku yang tertata rapi serta penggambaran lingkungan serbajadul jadi nilai plus sehingga kamu akan bisa tahan menonton film bertabur penghargaan bergengsi ini sampai akhir. Semoga terinspirasi!

Sumber Gambar dari Sini
Dan di sini 

Bocah yang Kelewat Percaya Diri Berburu Pahala

watch-dealers-3094036_1920

Sumber Gambar Ilustrasi dari sini

Anak-anak seharusnya sibuk menghapalkan perkalian dan rumus-rumus matematika, memahami letak geografis dan astronomis banyak wilayah, serta terus mengasah kemampuan berbahasa asingnya. Anak-anak juga lebih keren jika sibuk dengan kegiatan olahraga seperti renang dan sepak bola, sambil merayakan hari pertama ketika mereka jatuh cinta dengan cara mencatatkan di buku hariannya.

Tapi rupanya “yang seharusnya” itu tak terjadi pada bocah yang mengaku bernama Fajar. Entah ia berada di lingkungan seperti apa serta banyak dibisiki oleh orang-orang macam apa. Ia menjelma jadi bocah baru gede yang kelewat percaya diri berburu pahala.

Di suatu hari yang entah jam berapa, Fajar kedapatan mengambil barang dagangan tanpa izin di sebuah mimimarket. Ketika ditangkap sambil diinterogasi kecil-kecilan, jawaban Fajar sungguh membuat miris. Dalam rangkaian interogasi itu, Fajar tahu kalau mencuri adalah perbuatan buruk. Tapi menurutnya, jika praktik mencuri itu ditujukan kepada orang kafir, bahkan barang yang dicurinya adalah produk Yahudi, maka praktik pencuriannya menjadi halal, baik dan bakal dapat pahala.

Baca Juga: Kontrol Jari! Dilarang Menghujat Anak di Bawah Umur

Pernyataan-pernyataan Fajar sungguh membuat gemas. Apalagi ketika Fajar dengan entengnya menyodorkan tangan ketika penjaga toko mengancam akan sungguhan memotong tangannya. Ide tersebut muncul setelah Fajar sendiri yang menyatakan, “Kalau saya mencuri berarti harus potong tangan.”

Fajar bahkan kemudian menggulirkan dalil Alquran yang menurutnya bisa membenarkan perbuatannya. Ia menyebut, “Almaidah ayat tiga kalau engga lima”, lalu setelah didesak membacakan isi ayatnya, fajar mengucap “Kul Ya Ayyuhannas…” yang segera disambut protes dibarengi tawa, karena apa yang dibacakan Fajar salah adanya.

Ketika Fajar beratraksi demikian di hadapan para petugas toko, saya tidak berada di sana. Saya hanya seorang netizen yang kebetulan sedang buka Facebook jelang tengah hari, lalu melihat kiriman video Fajar dari Pak Tobing JR di 20 Agustus 2018 yang tampaknya menarik. Untuk cuplikan video selengkapnya, silakan ditonton saja:

 

 

Sumber Video dari sini

Saya penasaran bagaimana tanggapan kalian setelah melihat video di atas. Adakah sama dengan apa yang saya pikirkan? Atau justru kalian menganggap video ini rekayasa sebagai bagian dari agenda menjatuhkan agama tertentu.

Entahlah. Saya pun tidak bisa memastikan apakah ini video betulan atau rekayasa. Ketika saya meyakini bahwa ini betulan, perasaan sedih dan miris lah yang terasa. Namun ketika saya berpikir sebaliknya, rasanya sulit dipercaya video tersebut rekayasa.

Dilihat dari nada bicara dan ekspresi dari para pelaku video, sepertinya mereka melakukannya secara natural, di mana memang benar-benar ada seorang bocah bernama Fajar yang pemikirannya sungguh menyeramkan di usianya yang belia.

Baca Juga: Seimbang di Pertengahan: Ummatan Washathan

Fajar pastinya tidak sendirian. Di luar sana, mungkin ada bocah lainnya yang bernasib seperti Fajar, di mana ia diajari dan ditempatkan di tempat yang membuatnya menjadi seperti itu. Tulisan ini sama sekali tak bermaksud mempermalukan apalagi menggeneralisasi suatu simbol agama tertentu. Tapi saya pikir, kita harus sama-sama mengingatkan lagi tentang pentingnya pendidikan anak dengan pendekatan ilmu pengetahuan dan akhlak. Semoga kita bisa saling menjaga, agar tidak berpikiran pendek lalu enteng berbuat kerugian dengan perasaan berlimpah pahala.

Ketimbang membiarkan mereka dididik lembaga tertentu yang kita pun tak paham bagaimana ideologinya, lalu sembarangan mempercayakan anak dalam didikan orang lain yang ternyata punya pemikiran radikal, lebih baik berada di sisi mereka, memberikan teladan yang baik sebagai orang tua, dan diharapkan anak-anak kita bisa selamat dari gerakan kaderisasi “teroris”.

Atau jika pun ingin menyekolahkan anak ke tempat yang jauh, iringilah perbuatan itu dengan riset agar memastikan bahwa tempat belajar si anak berfokus pada kemajuan fisik dan jiwa si anak agar sehat, kuat, cerdas dan wawasannya luas.

Semoga kids zaman now tetap bisa punya kesempatan belajar dan bermain di lingkungan dan orang-orang yang baik meski arus informasi dari seluruh dunia terus menghujani mereka dengan mudahnya. Semoga Fajar dan bocah-bocah serupa Fajar bisa dididik dengan baik, sehingga mereka paham bahwa apa yang mereka yakini sekarang bukanlah pandangan yang bijak.

Semoga pula, Fajar tak terlalu berambisi dalam agenda berburu pahala, apalagi dengan pemikiran dia yang sekarang. (Baca juga: Mengeja Berita Skandal dan Kontroversi Harun Yahya) Sebab dalam pemahaman saya, kegiatan apapun bisa jadi ibadah jika diiringi dengan khauf (rasa takut tidak dapat ridha Allah) serta raja (mengharap agar Allah berbelas kasih memberikan rahmat-Nya).

Tahukah, wahai bocah yang mengaku bernama Fajar! Dunia itu begitu kompleks, tak sesederhana seperti hitam dan putih, kafir dan iman, dosa dan pahala, atau membunuh dan jihad. Belajarlah lagi yang banyak seperti juga saya yang ingin juga belajar lebih banyak lagi.

Agar ketika kamu ingin melakukan agenda jihad, amar makruf nahi munkar atau apalah namanya istilah itu, kamu membarenginya dengan rasa kasih sayang sempurna terinspirasi dari sosok Rasulullah yang bijak, (baca juga: review film sejarah hidup Rasulullah Saw) yang perilaku idealnya telah diceritakan secara turun-temurun berdasarkan fakta sejarah, bukan dari sejarah yang dikarang-karang orang dzalim.


Artikel Terkait, Baca: Belajar Kompleksitas Indonesia dari Gus Dur