Perihal 27, Jodoh, dan Gajah yang Tersenyum

girl-3028481_1280

Sejatinya, 27 hanya sebuah angka. Ia bisa diperoleh dari hasil penambahan, perkalian, hasil bagi, kurang, atau perhitungan matematis lainnya. Lantas mengapa saya repot-repot menuliskan si-27 di sini? Mengapa tak menulis angka lainnya?

Sebenarnya alasannya sederhana dan mudah ditebak. Pada catatan kali ini, saya sedang ingin menuliskan tentang momen kelahiran saya pada 19 september, 27 tahun yang lalu. Kalau hari ini adalah ulang tahun yang ke 17, mungkin angka 27 itu akan diganti dengan angka muda itu.

Kata orang-orang, angka 27 bagi orang single adalah “tua”. Katanya lagi, usia sekian ini harusnya sudah menikah dan punya anak. Lihatlah teman-teman di sekitar saya, kebanyakan sudah berkeluarga dan jadi Mamah-Mamah muda. Tapi apa boleh dikata, jodoh saya masih bersembunyi entah di mana. Atau, kalaupun dia tak sembunyi, mungkin sayalah yang masih sembunyi. Kita sejatinya lagi main petak umpet.

Entah kapan Tuhan akan mempertemukan kami, itu masih misteri. Bisa besok, pekan depan, bulan depan atau entah kapan, ditunggu saja tanggal mainnya. Harap maklum dengan tulisan yang berbau-bau galau ini. Karena riuhnya omongan orang-orang, saya memang jadi agak terpengaruh untuk urusan jodoh dan pernikahan.

Tapi saya tak mau melulu memikirkan itu. Toh jodoh tak begitu saja datang karena dipikirkan. Ia mungkin harus terus didoakan, dan juga diusahakan. Untuk jenis usaha agar jodoh cepat datang, mungkin saya harus melakukan ritual pemanggilan, atau pasang iklan berbayar. Sayangnya itu belum saya lakukan. Saya mau ikhtiar jenis yang lain saja. Ada saran?

Ketimbang melulu memikirkan jodoh, lebih baik saya sibuk memperbaiki kualitas diri yang nasibnya makin compang-camping saja. Usia boleh tua, tapi urusan jalan kedewasaan, saya masih tertatih-tatih. Ada egois yang masih kerap diumbar, pun ada belagu yang didendangkan tanpa lelah.

Meski egois dan belagu, tenang saja, saya masih berniat dan berupaya untuk memperbaiki diri. Salah satu langkahnya yakni dengan terus mencari tahu perihal teori-teori ideal di kehidupan. Saya bahkan masih memelihara cita-cita ingin seperti gajah. Maksud saya, bukannya saya ingin punya tubuh yang gemuk dan besar. Pada kenyataannya, meski banyak makan, badan saya tetap kecil mungil seperti semut.

Mengapa gajah, sebab saya dapat informasi, bahwa dialah hewan di hutan yang punya sabar tingkat paripurna. Gajah juga tak belagu dan sok kuasa meski badannya besar. Ia justru menebar kebaikan dengan cara membuka jalan dan aliran sungai. Gajah juga kabarnya merupakan simbol ilmu pengetahuan. Kamu tahu Archa Ganesha? Ia juga adalah patung yang bentuknya gajah.

Untuk menjadi sebijak dan secerdas gajah, atau setidaknya medekati kebijakan itu, waktu 27 tahun rasanya belum dan tidak akan cukup. Butuh tenaga ekstra untuk istikomah dalam kebaikan sehingga keinginan seperti gajah tidak sekadar mengambang di awang-awang.

Maka dari itu, ucapan terima kasih tak berhenti saya haturkan buat diri saya sendiri, karena masih sudi bertahan dan berjuang di hidup yang fana dan seperti mimpi ini. Semoga saya bisa terus bertahan sambil belajar agar bisa cerdas dan percaya diri menyongsong hari kemudian.

Di hari yang istimewa ini, ucapan terima kasih juga saya haturkan untuk semua orang yang mendoakan maupun tidak, tapi mereka masih sudi bersinggungan dan berinteraksi dengan saya, baik di jalur nyata maupun maya. Keberadaan kalian sangat membantu saya mewaraskan diri setiap hari.

Pada akhirnya, usia 27 hanya sebuah angka. Tapi karena telanjur dituliskan, angka ini akan saya peralat sejenak untuk jadi pendamping kontemplasi barang sejenak. Selanjutnya, semoga aksi tersebut bisa saya tindaklanjuti dengan serangkaian ritual pertaubatan, pembelajaran, dan jadi bekal semangat untuk bergerak menjadi lebih baik di hari ini dan hari esok.

Sekian.

Lalu saya lihat, Sang Gajah menatap, masih memerhatikan. Merasa sedang dibicarakan, dia tersenyum.

Sumber Gambar dari Sini

 

Perihal Teman Plastik

1988745_l1063684236.jpg

Kamu barusan menangis tersedu-sedu. Berdasarkan ceritamu, tangis itu disebabkan kamu yang sedang jadi obyek kedzoliman seorang teman yang sempat kamu anggap sejati. Sebab sakit dan kecewa, kamu beberapa menit lalu mengecap si teman sebagai “teman plastik”.

Loh, di tengah rasa simpati, aku sedikit tergelitik dengan istilah baru itu. Aku pikir, yang plastik itu cuma mainan, gelas dan piring, atau operasi–operasi plastik. Rupanya ada juga teman plastik.

Kata kamu kemudian, disebut plastik, sebab orang yang dimaksud menunjukkan diri sebagai teman, lantas bersikap baik dan selalu menemani kamu di saat suka dan banyak rezeki, tapi kemudian begitu saja meninggalkanmu, bahkan mengkhianatimu di saat kamu berada di situasi kurang baik.

Masih menurut kamu yang bercerita sambil terisak-isak, teman plastik bukanlah berarti mereka yang tubuhnya terkontaminasi plastik karena operasi, atau badan dan wajahnya dibalut plastik seperti barbie. Bukan, sama sekali bukan seperti itu.

Teman plastik justru juga manusia biasa yang badannya terdiri dari tulang berbalut daging serta jaringan penting lainnya. Disebut plastik, sebab substansinya mereka plastik. Tidak original. Palsu. Berpura-pura. Manis di bibir, menyeleweng di hati. Hanya ada di saat bahagia, tapi menghilang kala duka melanda. Bersikap baik di depan, tapi diam-diam menikam di punggung.

***

Oh… Baiklah. Sekarang aku jadi sedikit paham tentang apa yang kamu sebut ” teman plastik”. Adakah memiliki teman plastik adalah sebuah kesialan? Tapi aku bahkan ragu, memangnya yang kamu sebut “teman plastik” itu benar-benar ada?

Sebab sesungguhnya sejak tadi aku sangsi. Kamu sepertinya terlalu berekspektasi tinggi terhadap segala hubungan pertemanan. Kamu terlalu percaya akan kehadiran “teman sejati”, padahal itu hanya mitos belaka. Sikap kamu yang norak ini mungkin disebabkan kamu yang belum banyak berinteraksi dengan ragam manusia dengan masing-masing kepribadiannya.

Jadi, segeralah berhenti menangis dan membatin tentang “teman plastik”. Setelah itu, dengarlah ucapanku baik-baik.

Dengarlah, bahwa kalau kamu begitu ringan menyebut orang lain palsu, plastik, mungkin kamulah orang yang akan terus bersedih sepanjang waktu. Pada akhirnya, kamu tak akan punya satu pun teman di dunia.

Mengapa kamu sedih ketika diabaikan dan ditinggalkan oleh orang-orang yang kamu anggap teman? Padahal kamu tidak punya kendali terhadap apapun yang dipikirkan atau dilakukan orang. Padahal kamu juga punya peluang untuk menyakiti dan mengkhianati. Pun, ketika kamu bersedih dan mengatai mereka plastik, toh hidup mereka akan terus berjalan, tanpa berpusing-pusing dengan penilaianmu.

Lantas mau sampai kapan kamu terkekang oleh sedih dan kecewa?

Berjanjilah padaku, bahwa ini adalah tangisan yang terakhir. Setelah kesedihan ini berakhir, kamu harus segera kembal menatap dunia serta manusia-manusia di sekitarmu dengan pandangan yang lain. Pandangan yang kumaksud adalah, jangan melulu menuntut orang untuk jadi seperti ini atau seperti anu. Jangan pula berekspektasi berlebihan terhadapku, serta terhadap mereka yang kau anggap teman.

Bahwa seorang teman harus setia, bahwa mereka harus menemani dan membantu di kala suka dan duka, bahwa teman haruslah berlaku sejati, seiya sekata, itu bullshit. Sebab faktanya, semua orang termasuk dirimu, punya kepentingan dan masalahnya sendiri-sendiri. Kita berinteraksi berdasarkan kebutuhan, serta selalu berkutat dengan manajemen emosi yang fluktuatif. Kita bahkan tidak lepas dari khilaf dan dosa.

Teman sejati hanyalah mitos belaka, sebab tidak ada satu pun manusia yang sempurna. Lantas siapalah kamu yang berani-beraninya menuntut sempurna kepada teman-temanmu?

Yang mau aku katakan, janganlah berlaku begitu. Ketimbang sibuk menuntut orang-orang agar sesuai dengan ekspektasimu, lebih baik kamu berganti fokus dengan berkarya sebanyak-banyaknya, terserah di sebelah mana passionmu tumbuh. Bukankah kita masih punya PR besar di setiap hari, yakni mengalirkan energi positif ke dalam otak dan tubuh, sekaligus meredam segala yang negatif?

Dengan berkarya, kamu akan menjalin banyak hubungan pertemanan berdasarkan kerjasama yang menyenangkan, serta saling mendukung kepentingan masing-masing. Aku pikir itu akan lebih baik, sehingga bukan hubungan saling tuntut yang akan terjalin, melainkan saling bantu, saling apresiasi.

Percayalah, yang plastik itu bukan teman, melainkan ember dan operasi. Meski tidak ada teman sejati, kamu tetap bisa tersenyum dan berkembang dengan teman-teman yang siap bekerja sama dengan sehat di sekitarmu.

Jika di antara mereka ada yang menyakitimu atau mengkhianatimu, itu merupakan hal yang wajar karena manusia tempatnya khilaf dan salah. Disadari ataupun tidak, kamu pun berpeluang berlaku salah kepada teman-temanmu, bukan?

Jadi ketika tersakiti oleh orang yang kamu anggap teman, tetaplah anggap mereka teman. Jangan balas perlakuan jahat dengan kejahatan pula. Justru memaafkan dan mendoakan lebih baik, sehingga kamu akan sejenak terbebas dari energi negatif yang mengintit sepanjang hidup.

Berupayalah!

12082019
Sumber Gambar dari sini