Teknik Jitu Melawan Lurah Tiran (Review Novel Di Kaki Bukit Cibalak Karya Ahmad Tohari)

Judul: Di Kaki Bukit Cibalak
Pengarang: Ahmad Tohari
Penerbit : Gramedia
Tahun Terbit 1994
Tebal buku : 176 halaman

***
Ada apa di kaki bukit Cibalak? Oh… Rupanya ada sepsang muda mudi yang tengah menyelesaikan polemik cinta dalam perjalanan dari Desa Tanggir menuju Bandung. Mereka adalah Pambudi dan Mulyani yang tengah berusaha menegaskan perasaan cinta yang telah mendera keduanya sejak bertahun-tahun lamanya. Cinta itu selalu tertahan sebab perbedaan yang tak terjabarkan. Sebab ragu, Pambudi selalu membohongi hatinya yang sesungguhnya mencinta Mulyani. Sebab sabar, Mulyani senantiasa menanti dan menunggu ketegasan cinta pria baik yang dicintainya. Pambudi.

Lantas perjalanan yang tak direncanakan terjadi pada mereka. Pambudi diminta mengantar Mulyani pakai mobil menuju Bandung. Namun perjalanan mereka terhenti di kaki Bukit Cibalak. Pambudi dan Mulyani akhirnya membuat penyelesaian akan kisah cinta mereka yang bertahun-tahun menggantung, sementara Bukit Cibalak segera risau karena menduga Pambudi akan meninggalkannya demi Mulyani. Dan Bukit Cibalak membisu abadi.

***

Kejadian di kaki bukit Cibalak yang baru saya deskripsikan tadi menutup kisah kompleks pemuda Desa Tanggir bernama Pambudi. Meski kisah cintanya dengan Mulyani digambarkan di halaman sampul, pun menjadi penutup cerita, tapi kisah utama novel ini justru lebih kompleks dan berbobot sebab berkaitan dengan realita masyarakat Indonesia. Kisah cinta itu sejatinya hanyalah bumbu pemanis, ditujukan bagi pembaca yang menyukai kisah-kisah opera sabun.

Baca Artikel Lainnya: Cara Memulai Menulis dengan Benar

Apa yang kompleks dan berbobot? Rupanya sang penulis novel, yakni Ahmad Tohari, banyak mengangkat ragam masalah sosial yang hidup di era transisi (dari masa kuno dan tradisional menuju zaman digital yang serbamodern). Saya duga, Tohari “memperalat” seorang Pambudi (tokoh utama dalam novel), berwujud pemuda desa yang berkepribadian jujur, tegas dan cerdas untuk menyalurkan kritik-kritik sosialnya. Ia juga membuat dunia Pambudi seperti miniatur Indonesia, lantas ia pun mengajak kita berpikir tentang langkah perbaikan Indonesia lewat karya sastra.

Diceritakan, Pambudi yang hatinya lurus dengan tegas menolak tindakan lurah tiran bernama Pak Dirga. Sebagai bagian dari warga desa, ia tidak mau ikutan cari keuntungan di bawah penderitaan orang-orang desanya yang sengsara.

Ia secara terang-terangan menabuh genderang perang yang cerdas dan elegan. Salah satu cara yang dilakukan Pambudi dalam menolak tunduk pada penguasa dzolim itu yakni dengan menghimpun energi yang lebih besar lewat media massa. Tentu saja cara-cara perlawanan Pambudi diiringi niat tulus ikhlas membantu kaum lemah.

Merasa dilawan seorang pemuda biasa, Pak Lurah tak tinggal diam. Ia merasa punya kuasa sehingga bisa membuat fitnah untuk Pambudi, mengirim guna-guna, menekan keluarganya, membuat Pambudi harus terusir dari desa, hingga merebut Sanis, gadis belia yang telah lama ia cinta.

Tentu Pambudi merasa sedih dan kesal. Tapi setelah mendengarkan beragam nasihat, pada akhirnya ia mengalah untuk menang. Ketimbang melakukan serangan balik yang makan korban, lebih baik membaguskan diri, kualitas diri, tapi tetap kritis menyuarakan perbaikan untuk desa tercinta.

Baca Juga: Di Mana Ide Brilian Bersembunyi?

Pada kisah ini, Pambudi secara tidak langsung memberi tahu kita agar senantiasa kritis terhadap penyalahgunaan kekuasaan, terlepas dari seberapa besar skala kekuasaan itu. Perlawanan itu tidak dengan meledakkan bom atau membakar ban mobil sambil berdemonstrasi rusuh. Justru kritik dan upaya perbaikan bisa efektif dengan jalan yang elegan, sembari menggaet media massa. Selebihnya, ada kisah cinta Pambudi-Sanis atau Pambudi-Mulyani adalah bumbu pemanis yang mungkin penting untuk selingan.

Selain memberi tahu tentang cara jitu melawan penguasa tiran, saya terkesan dengan gaya penceritaan Tohari yang berlagak seperti dalang. Ia tak melakukan eksplorasi terhadap perasaan-perasaan abstrak para tokoh, pun tak merangkai kata dengan diksi yang akrobatik. Justru Tohari bermain-main di analogi dan fakta, dibalut penceritaan yang lugas dan serba realistis.

Ini merupakan nilai lebih dari seorang novelis yang juga menulis kisah “Ronggeng Dukuh Paruk” itu. Sebab dari caranya bercerita, kita jadi otomatis tahu bahwa ia merupakan orang yang kaya wawasannya, obyektif memandang realita, serta berpijak pada riset dan data.

Jadilah dari novel ini, pembaca bisa dapat faedah tentang realitas kondisi sosial masyarakat, bukan sekadar ikutan galau dengan kisah cinta para tokoh. Jadilah saya tak ingin kalian hanya merasa cukup membaca reviewnya. Lagi pula, ini bukan spoiler apalagi rangkuman novel. Makanya, segeralah membaca novelnya sehingga kamu bisa menindaklanjuti pembacaan itu dengan segenap apresiasi yang tak terduga.

Sekian.