Kekhawatiran Berlebih

worry-about-hog-2030840_1920

Sumber Gambar dari Sini

Semua orang senang jadi obyek perhatian, dipedulikan, dikhawatirkan. Tapi jika kepedulian itu disampaikan secara berlebihan, maka akan berdampak buruk baik bagi obyek maupun pelaku perhatian.

***

Akhir pekan kemarin tak terlalu menyenangkan, bahkan melelahkan buat saya. Bahkan untuk mencuci baju dan menyetrika saja saya harus curi-curi waktu di tengah malam. Kali ini saya tengah menjalani episode, di mana kesempatan bersantai terasa begitu sempit karena waktu banyak dihabiskan untuk urusan pekerjaan dan macet jalanan.

Tapi saya tidak mau iri dengan kalian yang bisa pergi liburan dan bermain bersama keluarga, sahabat dan gebetan di akhir pekan. Itu sudah jadi rezeki kalian jika bisa memanfaatkan momen senggang untuk menyenangkan pikiran. Sudah rezeki saya pula untuk menerima kesempitan waktu untuk sekadar menulis dan membahagiakan diri sendiri hari ini.

Maka dari itulah, di sini saya tak ingin banyak bicara tentang keluhan yang melelahkan, melainkan ingin berfokus pada apa yang telah saya bicarakan di awal, yakni perihal kepedulian dan kekhawatiran.

Cerita bermula ketika saya pulang ke kontrakan adik di Cibaduyut, setelah mengurusi pekerjaan pada minggu sore. Sedikit informasi, adik saya sedang bekerja di perusahaan kontraktor selama beberapa bulan. Ia bertugas mendata dan mengawasi suatu proyek pembangunan sekolah.

Adik saya ini sejak pagi sudah bilang, kalau di hari tersebut ia akan pergi ke temannya di daerah Cimahi, katanya ingin belajar perhitungan yang berkaitan dengan pekerjaan “nge-cor”. Setelah saya telusuri, ternyata agenda tersebut bukan instruksi dari atasan, melainkan inisiatifnya sendiri yang ingin “belajar” agar nanti mahir jadi perencana pembangunan.

Saya menanggapinya dengan sedikit antipati, bahkan saya menyarankannya untuk tidak berangkat saja. Sebab posisinya ia sedang libur dan seharusnya istirahat saja atau belajar di kontrakan. Bukankah ia ingin melanjutkan studi ke luar negeri?

Tapi seperti biasa, ia tidak mengindahkan saran saya dan tetap pergi setelah maghrib. Saya mempersilakan ia membawa handphone saya untuk order grab agar transportasi jadi praktis dan lancar. Sementara saya menunggu di kontrakannya.

Satu jam, dua jam hingga lima jam berlalu. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam dan si adik belum juga pulang. Parahnya, ia sama sekali tidak memberi kabar, pun tak terjangkau ketika dikontak. Secara otomatis rasa khawatir hadir secara berlebihan. Terlebih, yang saya tahu Bandung adalah kota Cinderella di mana kondisinya sangat rawan di kala malam.

Sambil terus melawan pikiran negatif tentang kondisi adik, saya pun segera mengontak dan menelepon teman-temannya serta atasannya. Saya bahkan berniat menyusul ke Cimahi karena tak kunjung dapat informasi terbaru tentang adik.

Hingga kemudian waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Ada info dari orang kantornya bahwa adik saya masih di tempat nge-cor, dan akan segera pulang. Tak lama setelah kabar itu datang, adik saya juga memberi kabar bahwa dia akan pulang.

Mendadak lega hati saya, meski rasa kesal masih terasa. Kesal, mengapa sejak awal tidak memberi kabar? Mengapa seperti orang yang hidup sebatang kara dan sama sekali tak peduli dengan kakak yang sedang mencemaskannya? Mengapa sok-sok rajin bekerja dengan modus mencari wawasan, padahal sama sekali tidak bijak dalam manajemen waktu.

Begitulah. Bahkan ketika ia sudah memberi kabar, rasa kesal dan sebal tetap berjaya.

Lantas sekitar pukul setengah dua dini hari, si Adik pulang. Dia nyengir, tapi saya balas memelototinya. Saya sudah terlalu lelah untuk mengomel, makanya saya diam saja sambil terus membatin “Mengapa saya punya adik yang begitu menyebalkan!”.

***

Singkat cerita, dampaknya sungguh terasa pagi ini. Entah rasa khawatir yang tak terkendali itu akan berdampak bagaimana untuk kesehatan jiwa saya di jangka panjang. Tapi yang jelas, efek negatif sudah mulai terasa hari ini, di mana badan jadi terasa ngantuk dan lelah.

Sekian kisah saya hari ini. Pada intinya ini hanya tulisan unek-unek belaka. Jika ada pesannya, mungkin bunyinya seperti ini: Khawatir secukupnya saja. Jangan terlalu berlebihan, nanti kamu bisa lelah sendiri. Jangan pula khawatir berkepanjangan, sebab nanti obyek perhatian akan jadi jengah dan tidak nyaman.

Sekian.

Basa-Basi, Dilema Antara “Berbuat Baik” dan “PHP”

composing-2925179_1280
Orang Indonesia memang juaranya berbasa-basi, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Sikap ini sudah membudaya, diajarkan secara turun temurun, dan dianggap sebagai hal yang lumrah. Sebagai gantinya, orang yang tidak mahir berbasa-basi mungkin akan dianggap tidak peka, kurang sopan atau tidak tahu tata krama. Begitu pula dengan orang yang dianggap terlalu berlebihan dalam berrbasa-basi. Mungkin ia akan dianggap sok baik, terlalu berisik atau Pemberi Harapan Palsu (PHP).
Dilematis.
Basa-basi menurut KBBI adalah suatu adat, sopan santun dan tata karma pergaulan. Ia juga diartikan sebagai ungkapan yang digunakan hanya untuk sopan santun dan tidak untuk menyampaikan informasi. Dalam kehidupan sehari-hari, penerapan basa-basi bisa kita dapati dan lakukan ketika menyapa orang, menanyakan kabar teman hingga menawarkan bantuan.
Nah, untuk yang terakhir disebut, saya belum lama ini sempat merasa jadi korban basa basi orang yang menawarkan bantuan. Sebagai rekan kerja, saling berbasa basi sangat direkomendasikan demi kenyamanan selama berjam-jam di tempat kerja. Kami bersama tim saling bercengkrama, sesekali canda, lantas selebihnya bekerja menurut job desk masing-masing.
Hingga kemudian dia menawarkan bantuan yakni “kasih tumpangan motor” karena arah rumah kita searah. Saya yang memang senang dengan yang gratisan senang-senang aja ditawari begitu. Saya pun menumpang dia hingga beberapa hari kemudian.
Tapi rupanya saya tak peka, mungkin juga tak tahu diri. Dia yang pada awalnya menegaskan tidak bermasalah dengan helm, ternyata pada akhirnya bilang “takut ditilang polisi”. Dia yang pada awalnya mempersilakan saya menumpang, tapi kemudian sibuk cari rekan lain untuk kasih tebengan karena dia keberatan.
Di saat seperti itu, saya jadi merasa seperti orang hina yang menyusahkan. Ditambah pada dasarknya saya itu baperan. Seharusnya sejak awal saya peka dengan basa-basi itu. Seharusnya saya juga taat hukum dengan tidak menumpang motor tanpa helm. Jika begini kejadiannya, seharusnya sejak awal saya bersikap gentle dengan tetap minta diantar pulang sama Abang Grab saja.
Tapi kemudian saya berpikir lagi. Mengapa saya mendadak merasa jadi orang yang tak tahu terima kasih dan pendendam begini? Mana bisa saya menyebut pertolongannya memberi tumpangan Sang Teman sebagai praktik basa-basi yang diseriusi, lalu berujung pada keterpaksaan yang disembunyikan?
Seharusnya tidak begitu.
Seharusnya saya berprasangka baik, sebab faktanya, teman saya itu mungkin memang benar ingin menolong, merasa kasihan dan pada akhirnya menawarkan tumpangan. Ini mutlak kesalahan saya saja yang hanya berpikir dari sisi keuntungan saya sendiri. Harusnya saya berpikir lebih panjang, bahwa menumpang tanpa helm adalah berisiko, bahwa saya tidak boleh terus bergantung pada rekan yang baru saja dikenal, bahwa dia pun seharusnya tak sembarangan memberi tumpangan yang berisiko.
Sejenak kemudian saya bercerita pada teman tentang kebaperan saya yang berlebihan ini. Lalu dia bilang, bahwa kejadian tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh kami yang memang belum terlalu akrab. Jadinya ada saling tidak enak, lalu jadi banyak berprasangka yang macam-macam. Saya sepakat pada pendapatnya. Saya mau membiarkan ini berlalu saja. Semoga ini menjadi pelajaran buat saya agar lebih cerdas membedakan, mana basa-basi, mana bercanda dan mana yang serius.
Akhir kata, semoga kita semua bisa memberi dan menerima pertolongan sesame manusia dengan niat yang tulus dan tanpa prasangka buruk. Bersemangatlah!

 

Perihal 27, Jodoh, dan Gajah yang Tersenyum

girl-3028481_1280

Sejatinya, 27 hanya sebuah angka. Ia bisa diperoleh dari hasil penambahan, perkalian, hasil bagi, kurang, atau perhitungan matematis lainnya. Lantas mengapa saya repot-repot menuliskan si-27 di sini? Mengapa tak menulis angka lainnya?

Sebenarnya alasannya sederhana dan mudah ditebak. Pada catatan kali ini, saya sedang ingin menuliskan tentang momen kelahiran saya pada 19 september, 27 tahun yang lalu. Kalau hari ini adalah ulang tahun yang ke 17, mungkin angka 27 itu akan diganti dengan angka muda itu.

Kata orang-orang, angka 27 bagi orang single adalah “tua”. Katanya lagi, usia sekian ini harusnya sudah menikah dan punya anak. Lihatlah teman-teman di sekitar saya, kebanyakan sudah berkeluarga dan jadi Mamah-Mamah muda. Tapi apa boleh dikata, jodoh saya masih bersembunyi entah di mana. Atau, kalaupun dia tak sembunyi, mungkin sayalah yang masih sembunyi. Kita sejatinya lagi main petak umpet.

Entah kapan Tuhan akan mempertemukan kami, itu masih misteri. Bisa besok, pekan depan, bulan depan atau entah kapan, ditunggu saja tanggal mainnya. Harap maklum dengan tulisan yang berbau-bau galau ini. Karena riuhnya omongan orang-orang, saya memang jadi agak terpengaruh untuk urusan jodoh dan pernikahan.

Tapi saya tak mau melulu memikirkan itu. Toh jodoh tak begitu saja datang karena dipikirkan. Ia mungkin harus terus didoakan, dan juga diusahakan. Untuk jenis usaha agar jodoh cepat datang, mungkin saya harus melakukan ritual pemanggilan, atau pasang iklan berbayar. Sayangnya itu belum saya lakukan. Saya mau ikhtiar jenis yang lain saja. Ada saran?

Ketimbang melulu memikirkan jodoh, lebih baik saya sibuk memperbaiki kualitas diri yang nasibnya makin compang-camping saja. Usia boleh tua, tapi urusan jalan kedewasaan, saya masih tertatih-tatih. Ada egois yang masih kerap diumbar, pun ada belagu yang didendangkan tanpa lelah.

Meski egois dan belagu, tenang saja, saya masih berniat dan berupaya untuk memperbaiki diri. Salah satu langkahnya yakni dengan terus mencari tahu perihal teori-teori ideal di kehidupan. Saya bahkan masih memelihara cita-cita ingin seperti gajah. Maksud saya, bukannya saya ingin punya tubuh yang gemuk dan besar. Pada kenyataannya, meski banyak makan, badan saya tetap kecil mungil seperti semut.

Mengapa gajah, sebab saya dapat informasi, bahwa dialah hewan di hutan yang punya sabar tingkat paripurna. Gajah juga tak belagu dan sok kuasa meski badannya besar. Ia justru menebar kebaikan dengan cara membuka jalan dan aliran sungai. Gajah juga kabarnya merupakan simbol ilmu pengetahuan. Kamu tahu Archa Ganesha? Ia juga adalah patung yang bentuknya gajah.

Untuk menjadi sebijak dan secerdas gajah, atau setidaknya medekati kebijakan itu, waktu 27 tahun rasanya belum dan tidak akan cukup. Butuh tenaga ekstra untuk istikomah dalam kebaikan sehingga keinginan seperti gajah tidak sekadar mengambang di awang-awang.

Maka dari itu, ucapan terima kasih tak berhenti saya haturkan buat diri saya sendiri, karena masih sudi bertahan dan berjuang di hidup yang fana dan seperti mimpi ini. Semoga saya bisa terus bertahan sambil belajar agar bisa cerdas dan percaya diri menyongsong hari kemudian.

Di hari yang istimewa ini, ucapan terima kasih juga saya haturkan untuk semua orang yang mendoakan maupun tidak, tapi mereka masih sudi bersinggungan dan berinteraksi dengan saya, baik di jalur nyata maupun maya. Keberadaan kalian sangat membantu saya mewaraskan diri setiap hari.

Pada akhirnya, usia 27 hanya sebuah angka. Tapi karena telanjur dituliskan, angka ini akan saya peralat sejenak untuk jadi pendamping kontemplasi barang sejenak. Selanjutnya, semoga aksi tersebut bisa saya tindaklanjuti dengan serangkaian ritual pertaubatan, pembelajaran, dan jadi bekal semangat untuk bergerak menjadi lebih baik di hari ini dan hari esok.

Sekian.

Lalu saya lihat, Sang Gajah menatap, masih memerhatikan. Merasa sedang dibicarakan, dia tersenyum.

Sumber Gambar dari Sini

 

Membicarakan Perilaku Keturunan Priayi

bear-3145874_1280

Dari generasi ke generasi, ada sejumlah orang yang diizinkan Tuhan meraih ilmu dan kebijakan yang mumpuni. Izin itu tentu saja tak begitu saja diperoleh, melainkan didahului sejumlah perjalanan dan perjuangan yang ma’rifat. Pencapaiannya itu disambut dengan apresiasi banyak orang, sehingga mereka diberi gelar Wali, Kiai, Mama,  Ajengan dan gelar terhormat lainnya. Menjadi seorang Priayi.

Tersebutlah kakek buyut saya merupakan salah satu orang yang mengantongi izin dapat kehormatan itu. Kakek buyut bernama Zaenudin bin Malnasim, sementara istrinya adalah Urwiyah binti Marnawi. Jadi alurnya begini: Mereka punya sejumlah anak, salah satunya bernama Maemunah. Nenek Maemunah alias Nini Ae menikah dengan Kakek Marzuki alias Aki Ajuk, lantas punya sejumlah anak juga. Salah satu anaknya adalah Emak Yanti, yang merupakan ibu kandung saya.

Dalam tulisan sebelumnya, saya juga pernah bercerita tentang kisah karuhun dari keluarga bapak yang sangat jauh berbeda kondisinya dengan keluarga ibu. Untuk membaca kisah selengkapnya, klik di sini.

Orang-orang dari dulu hingga kini mendahului penyebutan nama kakek buyut dengan sebutan “Mama” atau “Kiai Haji” sebagai gelar penghormatan. Aksi penghormatan bahkan masih ditunjukkan setelah 44 tahun mereka meninggal. Orang-orang kerap berziarah ke makam kakek dan nenek buyut pada malam-malam tertentu, serta rutin menggelar acara haol dan manaqib setiap tahun untuk mengenang dan mendoakan almarhum.

Kisah dari Mulut ke Mulut

Semasa hidupnya, diceritakan bahwa kakek buyut merupakan pemimpin Pondok Pesantren Bangong (nama kampung kami) yang getol berbagi ilmu dan pengetahuan agama. Ia punya santri ribuan, yang mana kebanyakan dari santri-santri itu datang dari berbagai penjuru tanah jawa.

Kiai Zaenudin kerap disebut “Mama Alfiah” karena ia hapal bait demi bait kitab Alfiah, pun paham dan mengamalkan kandungan kitab berbahasa arab itu. Perjalanannya menuntut dan mengamalkan ilmu juga telah tersohor ke mana-mana. Pengalamannya mondok dua tahun di Makkah juga makin mempertegas kehormatan dirinya akibat menjadi ahli ilmu.

Bukan hanya dihormati, Mama Alfiyah juga disegani karena diyakini pinya sejumlah kesaktian. Di antaranya, pernah diceritakan beliau berjalan di bawah hujan, tapi seluruh badan dan pakaiannya tidak basah, seolah ada pelindung yang menyelimutinya. Pernah juga ada maling masuk ke rumahnya. Bukannya dapat barang berharga untuk dicuri, si maling justru kebingungan mencari pintu keluar.

Salah seorang anaknya, yakni Aki Ahmad (adiknya Nini Ae), juga pernah bercerita tentang kesaktian kakek buyut. Ketika ia muda, Aki Ahmad merengek minta uang untuk keperluan tertentu pada Kakek Buyut Zaenudin. Menanggapi permintaan anaknya, kakek menggelar sajadah, lalu shalat dan berdoa. Beberapa saat kemudian, ia menyibak sajadahnya, dan tiba-tiba ada sejumlah uang di sana.

Kejadian tersebut membuat orang-orang percaya bahwa Kakek Zaenudin bisa langsung minta pada Allah untuk memenuhi keperluannya. Kisah kesaktian Buyut Zaenudin tersebar dari mulut ke mulut, membuatnya jadi seperti realita yang berpotensi menjelma dongeng, tapi sepertinya seru jika kala itu bisa jadi saksi kesaktian Sang Kiai Haji.

grandparents-3436463_1920

Sementara itu, pasangannya yakni Nenek Buyut Urwiyah bin Marnawi alias Nini Iyah, merupakan seorang paraji atau dukun beranak. Keahliannya menolong orang yang ingin melahirkan juga tersohor ke mana-mana. Nini Iyah diceritakan, menolong ibu bersalin tanpa pandang bulu, tak mematuk bayaran tertentu, pun tak kenal waktu. Bahkan jika ia dimintai tolong tengah malam, di lokasi yang lumayan jauh dari rumahnya, ia akan tetap mengupayakan datang dan memberi pertolongan.

Tak sekadar membantu persalinan, Nini Iyah juga kerap memberi solusi ketika dihadapkan pada masalah seputar ibu dan bayi. Salah satu contoh, ada ibu yang mau melahirkan, tapi posisi bayi sungsang (kaki bayi ada di bawah, seharusnya kepala). Beliau pun melakukan tindakan pemijatan, tanpa bedah apalagi operasi, lalu beberapa saat kemudian posisi bayi bisa kembali normal dan siap dilahirkan.

Nenek buyut saya keren, bukan?

Ketika kecil, Emak pernah menceritakan salah satu kisah unik tentang Nini Iyah. Diceritakan, di malam yang tenang dan gulita, Nini Iyah diminta menolong ibu yang ingin melahirkan. Ia pun segera bersiap untuk berangkat, sembari membawa obor untuk penerang jalan. Nini Iyah bergegas melewati hutan dan jalan setapak yang menyeramkan.

Lalu dari kejauhan, sesuatu menyerunya. “Dagoan…! Dagoan…! Dagoan!” (Dagoan adalah kata bahasa sunda, artinya “Tunggu!”

castle-862700_1920

Suara itu terdengar aneh, seperti orang yang berteriak tapi hidungnya tersumpal. Suara itu kemungkinan besar bukan berasal dari golongan manusia, melainkan dari makhluk lainnya.

Nini Iyah sudah tahu kalau yang memanggil itu bukan manusia, dan tidak perlu ditanggapi apalagi ditakuti. Nini Iyah terus melangkah dengan obornya menuju ibu bersalin. Ia siaga menolong dengan gagah berani.

Ketika emak menceritakan kisah “Dagoan” Nini Iyah, saya agak merinding dibuatnya. Tapi di sela ketakutan itu, tebersit rasa bangga karena punya buyut yang berani dan selalu siaga menolong orang.

Haul Bani Marnawi

IMG_20180914_201505

Kita tidak pernah meminta untuk jadi anak dan keturunan siapa. Kita juga pastinya tidak akan menolak, bahkan bersyukur, kalau Tuhan rupanya menakdirkan kita lahir dari garis keturunan priayi. Begitu pun, kita akan tetap bersyukur apabila pendahulu kita merupakan orang yang dipandang biasa-biasa saja, tapi punya rasa sayang yang tak terhingga pada keluarganya.

Sebagai bagian dari keturunan Priayi, saya dan keluarga besar pun melakukan aksi syukur sebab menjadi bagian dari Bani Marnawi. Saya pribadi bersyukur dan bangga, sebab punya karuhun yang shaleh, hidupnya bermanfaat serta penolong bagi yang membutuhkan. Nah, salah satu wujud rasa syukur itu adalah dengan menjadi tuan rumah acara manaqib dan haul Bani Marnawi setiap tahun.

Awalnya, acara digelar sederhana dan biasa-biasa saja. Tapi sejak dua tahun ke belakang, didukung aliran dana yang lumyan dari beberapa cicit yang sukses dari segi finansial, acara haulan ini dibuat akbar, pakai panggung besar, tablig akbar dan makan bersama dalam skala besar.

Sekilas info, haul merupakan acara peringatan tahunan atas meninggalnya seseorang yang dianggap penting dan terhormat. Pada intinya, orang-orang diajak mendoakan almarhum/almarhumah sembari berharap ngalap barokah. Di acara haul, pesertanya akan merasa berkumpul dengan orang-orang shaleh, sehingga peluang perolehan “barokah” akan semakin besar.

Biasanya, acara ini diisi dengan doa bersama, hadiah untuk almarhum, ziarah, pembacaan manaqib/napak nilas tokoh serta tablig akbar. Peserta haul di antaranya para anak dan cucu, orang-orang di lingkungan tersebut, sert para tamu undangan. Semakin terkenal seseorang yang dihaulkan, semakin banyak pula peserta yang datang.

Saya sebenarnya tak terlalu banyak andil dalam mempersiapkan acara haul kakek. Ibu, paman, uwa dan bibi lah yang banyak berperan, dari mulai menyediakan konsumsi, tata panggung, penceramah, penggalangan dana untuk dhuafa dan tetek bengek lainnya. Mereka sibuk dan saling bekerja sama merancang acara agar berjalan baik dan sesuai rencana. Sebab ini berkaitan dengan wibawa Bani Marnawi, acara harus berjalan sempurna. Jngan sampai tamu yang datang merasa kecewa.

Menjadi Keturunan Priyayi, Mestikah Jemawa?

Tak bisa dipungkiri, ada jemawa yang sengaja atau tidak, bakal terbawa-bawa ketika kita menyadari diri ini sebagai keturunan orang hebat, macam kiayi yang priayi. Rasa bangga diri, tinggi derajat, terhormat di antara yang lainnya, mungkin sewaktu-waktu akan menyelusup ke dalam hati. Rasa-rasa tak bermutu itu, misalnya, berpotensi sembunyi dalam kedok “tahadduts bin nikmat” dan “ngalap barokah”.

Saya tidak membicarakan siapa-siapa, sebab tulisan ini utamanya ditujukan pada diri sendiri. Di antara rasa hormat dan takjub akan sosok Kakek dan Nenek Buyut, ada rasa takut untuk (sengaja atau tidak) mendompleng nama mereka untuk menuntut hormat dari manusia yang lainnya. Saya juga takut perilaku hati jadi tak terkendali, karena lontaran pujuan dan harapan selalu tertujukan bagi Bani Marnawi.

Ketika seseorang berbaris di garis keturunan orang-orang yang dianggap shaleh, ada di antara barisan itu yang merasa tertuntut untuk memantaskan diri agar ikutan hebat dan shaleh sebagaimana karuhunnya. Mereka lalu terinspirasi juga untuk belajar agama, banyak berbagi kebaikan, memimpin masyarakat, amar maruf nahi munkar serta melakukan banyak hal baik lainnya untuk kehidupan sosial.

Aksesoris kehormatan jangan sampai ketinggalan. Sorban putih, peci dan koko bersih, gamis menjuntai, tasbih terurai serta kerudung yang super panjang mesti jadi penyempurna. Penampilan macam itu akan mempertegas kehormatan dan keshalehan di mata orang awam.

Adalah sah-sah saja, jika kita yang masuk di barisan keturunan priayi, lantas ingin menempuh jalan meraih kehormatan, sebagaimana yang dicapai para karuhun terdahulu. Lagi pula, langkah-langkah itu adalah baik dan bermanfaat bagi diri sendiri dan umat. Tapi, upayakanlah agar langkah-langkah itu diiringi rasa sombong dan jemawa, sehingga gugur dan tertolaklah semua amal yang tampak indah itu di hadapan Allah yang kuasa.

Pada akhirnya, instrospeksi diri harus dilakukan setiap waktu, rutin dan disiplin. Sebab semakin seseorang dipandang shaleh dan terhormat, semakin besar pula ujian dan tantangannya dalam mengelola qolbu dari ragam penyakit akut. Jangan sampai kita terjebak pada perasaan melulu benar, selalu shaleh, senantiasa terpuji, lantas kita tak lagi bisa peka dengan perilaku qalbu yang busuk dan menghinakan.

Karuhun shaleh mendapatkan kehormatan atas usaha dan perjuangannya sendiri. Tapi ingatlah bahwa mereka sama sekali tak mewariskan kharisma dan kehormatan itu kepada anak cucunya. Mencontoh perilaku sholeh mereka tentu sangat dianjurkan. Tapi adalah salah jika merasa dapat bagian dari kepriayian itu tanpa melakukan usaha apa-apa. Lagi pula, adalah konyol jika sepanjang hidup hanya dihabiskan untuk mengejar-ngejar kehormatan dan pujian di hadapan orang-orang, padahal ada yang lebih penting dari itu semua, yakni dapat menempuh perjalanan yang benar untuk menjangkau Tuhan.

Jadi, jika mau mencontoh karuhun yang sholeh dan terhormat, mencontohlah yang benar. Mengaku sebagai keturunan priayi bukanlah untuk sekadar gengsi dan perolehan kehormatan. Mencontoh jejak sholeh sejatinya merupakan salah satu bentuk inspirasi dan petunjuk, agar kita juga bisa berlaku sama,  yakni membaguskan diri, bermanfaat buat banyak orang, serta memeroleh ridha Allah dengan jalan yang penuh perjuangan.

Kiranya demikian.

Sumber gambar: Pixabay.com dan dokumentasi pribadi