Membicarakan Perilaku Keturunan Priayi

bear-3145874_1280

Dari generasi ke generasi, ada sejumlah orang yang diizinkan Tuhan meraih ilmu dan kebijakan yang mumpuni. Izin itu tentu saja tak begitu saja diperoleh, melainkan didahului sejumlah perjalanan dan perjuangan yang ma’rifat. Pencapaiannya itu disambut dengan apresiasi banyak orang, sehingga mereka diberi gelar Wali, Kiai, Mama,  Ajengan dan gelar terhormat lainnya. Menjadi seorang Priayi.

Tersebutlah kakek buyut saya merupakan salah satu orang yang mengantongi izin dapat kehormatan itu. Kakek buyut bernama Zaenudin bin Malnasim, sementara istrinya adalah Urwiyah binti Marnawi. Jadi alurnya begini: Mereka punya sejumlah anak, salah satunya bernama Maemunah. Nenek Maemunah alias Nini Ae menikah dengan Kakek Marzuki alias Aki Ajuk, lantas punya sejumlah anak juga. Salah satu anaknya adalah Emak Yanti, yang merupakan ibu kandung saya.

Dalam tulisan sebelumnya, saya juga pernah bercerita tentang kisah karuhun dari keluarga bapak yang sangat jauh berbeda kondisinya dengan keluarga ibu. Untuk membaca kisah selengkapnya, klik di sini.

Orang-orang dari dulu hingga kini mendahului penyebutan nama kakek buyut dengan sebutan “Mama” atau “Kiai Haji” sebagai gelar penghormatan. Aksi penghormatan bahkan masih ditunjukkan setelah 44 tahun mereka meninggal. Orang-orang kerap berziarah ke makam kakek dan nenek buyut pada malam-malam tertentu, serta rutin menggelar acara haol dan manaqib setiap tahun untuk mengenang dan mendoakan almarhum.

Kisah dari Mulut ke Mulut

Semasa hidupnya, diceritakan bahwa kakek buyut merupakan pemimpin Pondok Pesantren Bangong (nama kampung kami) yang getol berbagi ilmu dan pengetahuan agama. Ia punya santri ribuan, yang mana kebanyakan dari santri-santri itu datang dari berbagai penjuru tanah jawa.

Kiai Zaenudin kerap disebut “Mama Alfiah” karena ia hapal bait demi bait kitab Alfiah, pun paham dan mengamalkan kandungan kitab berbahasa arab itu. Perjalanannya menuntut dan mengamalkan ilmu juga telah tersohor ke mana-mana. Pengalamannya mondok dua tahun di Makkah juga makin mempertegas kehormatan dirinya akibat menjadi ahli ilmu.

Bukan hanya dihormati, Mama Alfiyah juga disegani karena diyakini pinya sejumlah kesaktian. Di antaranya, pernah diceritakan beliau berjalan di bawah hujan, tapi seluruh badan dan pakaiannya tidak basah, seolah ada pelindung yang menyelimutinya. Pernah juga ada maling masuk ke rumahnya. Bukannya dapat barang berharga untuk dicuri, si maling justru kebingungan mencari pintu keluar.

Salah seorang anaknya, yakni Aki Ahmad (adiknya Nini Ae), juga pernah bercerita tentang kesaktian kakek buyut. Ketika ia muda, Aki Ahmad merengek minta uang untuk keperluan tertentu pada Kakek Buyut Zaenudin. Menanggapi permintaan anaknya, kakek menggelar sajadah, lalu shalat dan berdoa. Beberapa saat kemudian, ia menyibak sajadahnya, dan tiba-tiba ada sejumlah uang di sana.

Kejadian tersebut membuat orang-orang percaya bahwa Kakek Zaenudin bisa langsung minta pada Allah untuk memenuhi keperluannya. Kisah kesaktian Buyut Zaenudin tersebar dari mulut ke mulut, membuatnya jadi seperti realita yang berpotensi menjelma dongeng, tapi sepertinya seru jika kala itu bisa jadi saksi kesaktian Sang Kiai Haji.

grandparents-3436463_1920

Sementara itu, pasangannya yakni Nenek Buyut Urwiyah bin Marnawi alias Nini Iyah, merupakan seorang paraji atau dukun beranak. Keahliannya menolong orang yang ingin melahirkan juga tersohor ke mana-mana. Nini Iyah diceritakan, menolong ibu bersalin tanpa pandang bulu, tak mematuk bayaran tertentu, pun tak kenal waktu. Bahkan jika ia dimintai tolong tengah malam, di lokasi yang lumayan jauh dari rumahnya, ia akan tetap mengupayakan datang dan memberi pertolongan.

Tak sekadar membantu persalinan, Nini Iyah juga kerap memberi solusi ketika dihadapkan pada masalah seputar ibu dan bayi. Salah satu contoh, ada ibu yang mau melahirkan, tapi posisi bayi sungsang (kaki bayi ada di bawah, seharusnya kepala). Beliau pun melakukan tindakan pemijatan, tanpa bedah apalagi operasi, lalu beberapa saat kemudian posisi bayi bisa kembali normal dan siap dilahirkan.

Nenek buyut saya keren, bukan?

Ketika kecil, Emak pernah menceritakan salah satu kisah unik tentang Nini Iyah. Diceritakan, di malam yang tenang dan gulita, Nini Iyah diminta menolong ibu yang ingin melahirkan. Ia pun segera bersiap untuk berangkat, sembari membawa obor untuk penerang jalan. Nini Iyah bergegas melewati hutan dan jalan setapak yang menyeramkan.

Lalu dari kejauhan, sesuatu menyerunya. “Dagoan…! Dagoan…! Dagoan!” (Dagoan adalah kata bahasa sunda, artinya “Tunggu!”

castle-862700_1920

Suara itu terdengar aneh, seperti orang yang berteriak tapi hidungnya tersumpal. Suara itu kemungkinan besar bukan berasal dari golongan manusia, melainkan dari makhluk lainnya.

Nini Iyah sudah tahu kalau yang memanggil itu bukan manusia, dan tidak perlu ditanggapi apalagi ditakuti. Nini Iyah terus melangkah dengan obornya menuju ibu bersalin. Ia siaga menolong dengan gagah berani.

Ketika emak menceritakan kisah “Dagoan” Nini Iyah, saya agak merinding dibuatnya. Tapi di sela ketakutan itu, tebersit rasa bangga karena punya buyut yang berani dan selalu siaga menolong orang.

Haul Bani Marnawi

IMG_20180914_201505

Kita tidak pernah meminta untuk jadi anak dan keturunan siapa. Kita juga pastinya tidak akan menolak, bahkan bersyukur, kalau Tuhan rupanya menakdirkan kita lahir dari garis keturunan priayi. Begitu pun, kita akan tetap bersyukur apabila pendahulu kita merupakan orang yang dipandang biasa-biasa saja, tapi punya rasa sayang yang tak terhingga pada keluarganya.

Sebagai bagian dari keturunan Priayi, saya dan keluarga besar pun melakukan aksi syukur sebab menjadi bagian dari Bani Marnawi. Saya pribadi bersyukur dan bangga, sebab punya karuhun yang shaleh, hidupnya bermanfaat serta penolong bagi yang membutuhkan. Nah, salah satu wujud rasa syukur itu adalah dengan menjadi tuan rumah acara manaqib dan haul Bani Marnawi setiap tahun.

Awalnya, acara digelar sederhana dan biasa-biasa saja. Tapi sejak dua tahun ke belakang, didukung aliran dana yang lumyan dari beberapa cicit yang sukses dari segi finansial, acara haulan ini dibuat akbar, pakai panggung besar, tablig akbar dan makan bersama dalam skala besar.

Sekilas info, haul merupakan acara peringatan tahunan atas meninggalnya seseorang yang dianggap penting dan terhormat. Pada intinya, orang-orang diajak mendoakan almarhum/almarhumah sembari berharap ngalap barokah. Di acara haul, pesertanya akan merasa berkumpul dengan orang-orang shaleh, sehingga peluang perolehan “barokah” akan semakin besar.

Biasanya, acara ini diisi dengan doa bersama, hadiah untuk almarhum, ziarah, pembacaan manaqib/napak nilas tokoh serta tablig akbar. Peserta haul di antaranya para anak dan cucu, orang-orang di lingkungan tersebut, sert para tamu undangan. Semakin terkenal seseorang yang dihaulkan, semakin banyak pula peserta yang datang.

Saya sebenarnya tak terlalu banyak andil dalam mempersiapkan acara haul kakek. Ibu, paman, uwa dan bibi lah yang banyak berperan, dari mulai menyediakan konsumsi, tata panggung, penceramah, penggalangan dana untuk dhuafa dan tetek bengek lainnya. Mereka sibuk dan saling bekerja sama merancang acara agar berjalan baik dan sesuai rencana. Sebab ini berkaitan dengan wibawa Bani Marnawi, acara harus berjalan sempurna. Jngan sampai tamu yang datang merasa kecewa.

Menjadi Keturunan Priyayi, Mestikah Jemawa?

Tak bisa dipungkiri, ada jemawa yang sengaja atau tidak, bakal terbawa-bawa ketika kita menyadari diri ini sebagai keturunan orang hebat, macam kiayi yang priayi. Rasa bangga diri, tinggi derajat, terhormat di antara yang lainnya, mungkin sewaktu-waktu akan menyelusup ke dalam hati. Rasa-rasa tak bermutu itu, misalnya, berpotensi sembunyi dalam kedok “tahadduts bin nikmat” dan “ngalap barokah”.

Saya tidak membicarakan siapa-siapa, sebab tulisan ini utamanya ditujukan pada diri sendiri. Di antara rasa hormat dan takjub akan sosok Kakek dan Nenek Buyut, ada rasa takut untuk (sengaja atau tidak) mendompleng nama mereka untuk menuntut hormat dari manusia yang lainnya. Saya juga takut perilaku hati jadi tak terkendali, karena lontaran pujuan dan harapan selalu tertujukan bagi Bani Marnawi.

Ketika seseorang berbaris di garis keturunan orang-orang yang dianggap shaleh, ada di antara barisan itu yang merasa tertuntut untuk memantaskan diri agar ikutan hebat dan shaleh sebagaimana karuhunnya. Mereka lalu terinspirasi juga untuk belajar agama, banyak berbagi kebaikan, memimpin masyarakat, amar maruf nahi munkar serta melakukan banyak hal baik lainnya untuk kehidupan sosial.

Aksesoris kehormatan jangan sampai ketinggalan. Sorban putih, peci dan koko bersih, gamis menjuntai, tasbih terurai serta kerudung yang super panjang mesti jadi penyempurna. Penampilan macam itu akan mempertegas kehormatan dan keshalehan di mata orang awam.

Adalah sah-sah saja, jika kita yang masuk di barisan keturunan priayi, lantas ingin menempuh jalan meraih kehormatan, sebagaimana yang dicapai para karuhun terdahulu. Lagi pula, langkah-langkah itu adalah baik dan bermanfaat bagi diri sendiri dan umat. Tapi, upayakanlah agar langkah-langkah itu diiringi rasa sombong dan jemawa, sehingga gugur dan tertolaklah semua amal yang tampak indah itu di hadapan Allah yang kuasa.

Pada akhirnya, instrospeksi diri harus dilakukan setiap waktu, rutin dan disiplin. Sebab semakin seseorang dipandang shaleh dan terhormat, semakin besar pula ujian dan tantangannya dalam mengelola qolbu dari ragam penyakit akut. Jangan sampai kita terjebak pada perasaan melulu benar, selalu shaleh, senantiasa terpuji, lantas kita tak lagi bisa peka dengan perilaku qalbu yang busuk dan menghinakan.

Karuhun shaleh mendapatkan kehormatan atas usaha dan perjuangannya sendiri. Tapi ingatlah bahwa mereka sama sekali tak mewariskan kharisma dan kehormatan itu kepada anak cucunya. Mencontoh perilaku sholeh mereka tentu sangat dianjurkan. Tapi adalah salah jika merasa dapat bagian dari kepriayian itu tanpa melakukan usaha apa-apa. Lagi pula, adalah konyol jika sepanjang hidup hanya dihabiskan untuk mengejar-ngejar kehormatan dan pujian di hadapan orang-orang, padahal ada yang lebih penting dari itu semua, yakni dapat menempuh perjalanan yang benar untuk menjangkau Tuhan.

Jadi, jika mau mencontoh karuhun yang sholeh dan terhormat, mencontohlah yang benar. Mengaku sebagai keturunan priayi bukanlah untuk sekadar gengsi dan perolehan kehormatan. Mencontoh jejak sholeh sejatinya merupakan salah satu bentuk inspirasi dan petunjuk, agar kita juga bisa berlaku sama,  yakni membaguskan diri, bermanfaat buat banyak orang, serta memeroleh ridha Allah dengan jalan yang penuh perjuangan.

Kiranya demikian.

Sumber gambar: Pixabay.com dan dokumentasi pribadi