Makhluk Halus

“Subuh kali ini berbeda. Merasa ada sejumlah mata yang mengintai.”

Paranoid. Kebanyakan orang menyebutnya sebagai gejala kelainan jiwa yang disebabkan oleh ketakutan yang amat sangat. Yap, itulah yang terjadi pada saya dini hari ini. Sebab siang tadi diceritakan oleh salah seorang teman tentang keberadaan “makhluk halus” di area kosan, dan bahkan katanya mereka kerap lewat di depan kamar kosan saya. Ini sangat menyebalkan. Asli.

Saya tahu, makhluk halus dan bangsa jin memang ada dan wajib diimani keberadaannya. Saya juga tahu dia tinggal di dimensi yang berbeda di alam raya ini. Kita mungkin tengah berbagi tempat, tapi dari sudut yang lain. Sesekali mungkin bersinggungan, tapi sejauh ini masing-masing dari kita hanya mengurusi urusan masing-masing. Tak saling colek tak saling ganggu.

Maka mungkin ketakutan saya kali ini mereka anggap sebagai aksi ke ge-er an yah. Hahaha. Padahal mereka tak berlaku apa-apa, sama sekali tak mengganggu, tapi saya yang membayangkan kalau mereka menyeramkan, sebab terinspirasi dari sosok yang ditampilkan di film horor picisan. Lalu saya jadi dag-dig-dug ga keruan.

Untung saja saya hanya merasakan ketakutan itu sesaat. Ketakutan yang saya tanggung sendiri karena seharusnya memang tak boleh menyusahkan orang lain. Si teman yang katanya bisa melihat makhluk semacam “mereka” berpesan, agar selalu menjaga pikiran baik. Sebab jika kita membawa energi negatif, sering uring-uringan, menyerapah atau gak ingat sama Tuhan, maka ia akan mengikuti bahkan mungkin mengganggu. Wah, meski saya bergidik, tapi keberadaannya bermanfaat juga ternyata. Dia bisa membuat kita enggan untuk menyimpan energi negatif, agar kesadaran kita terkendali dan bebas dari gangguan jin.

Begitulah kira-kira dini hari ini. Meski agak mencekam, saya harap di dini hari keesokan harinya tidak berkelakuan ke ge er an seperti ini lagi.

Selain enggan menyentuh hal-hal berbau horor, ada dua hal lagi yang kerap melemahkan saya, yakni gelap dan kecoak. Makanya sekarang saya sangat bergantung pada PLN agar selalu menyediakan layanan penerangan listrik buat warga sipil. Sama sekali tak tenang jika ada sudut yang gelap, karena nanti akan mengundang parno datang. Begitu pun kecoak. Ah, seharusnya saya bisa memandang dia sebagai makhluk lucu dan imut. Tapi kenapa saya jeri jika dia datang?

Bicara soal gelap, sebenarnya ada yang lebih menakutkan dari kegelapan secara fisik. Yakni kegelapan dalam melihat masa yang akan datang. Bahkan untuk memikirkannya, saya suka jadi sakit kepala. Semua terasa blank. Membingungkan. Akan jadi apa saya dan bagaimana, semuanya melelahkan jika dipikirkan terlalu keras. Maka, seharusnya saya bisa bersikap relax saja. Yang di depan, biarlah nanti urusan besok. Yang penting sekarang saya berusaha menjalani kehidupan hari ini dengan baik dan benar. Tapi hal yang seharusnya, kadang suka dilanghar dengan banyak alasan. Beruntunglah banyak teman yang bersedia jadi pegangan. Mereka yang dengan senang hati memberi peringatan.

Pahlawan Super

IMG_20151011_190852

04042015-22.36

 

“Ada Batman, Superman, Spiderman, Cat Women, Gatot Kaca, Arjuna atau Bima. Mereka pahlawan super dalam cerita rekaan untuk manusia-manusia yang juga rekaan. Pahlawan Super adalah khayalan belaka”

Akhir-akhir ini tengah mengapresiasi lagunya The Script berjudul “Superheroes”. Dengan mendengarkannya. Bahkan seperti //nyandu//, saya mendengarkannya berkali-kali. Ia masuk daftar playlist bulan ini, di antara deretan lagu-lagunya Super Junior yang sedang saya sukai juga. 😉

Yap, seperti jatuh cinta pada pendengaran pertama (caelah), ketika mendengarkan intro musiknya, mendengar suara vokalisnya saya langsung suka. Padahal waktu itu saya belum tahu siapa penyanyinya. Dalam file musik–yang entah siapa yang menyimpannya–di komputer hanya ada tulisan judul lagunya saja.

Baiklah, rasa suka kemudian saya lanjutkan dengan lari bertanya ke Mbah Google. Dengan cepat saya tahu, itu lagunya grup band pop asal Irlandia, The Script yang dirilis pada kuartal ketiga 2014. Info lebih lanjut saya dapat dari blog tetangga (www.babirun.com). Bahwa “Superheroes” adalah lagu andalan dari album mereka yang keempat yang di-//headline//-kan “No Sound Without Silence”. Nama vokalisnya Danny O’Donoghue. Video clipnya pun keren. Bikin saya tersentuh banget. Yakni kisah tentang ayah yang selalu berupaya menunjukkan yang terbaik dan membanggakan buat anaknya. Sesusah apapun dia, selwtih apapun dia. Puterinya tak perlu tahu. Ia selalu membawa bahagia di hadapan anaknya.

Saya lantas teringat Bapak. Dia yang belakangan ini membuat saya sedih. Dia yang tampaknya hebat. Tapi belakangan saya mengerti, banyak hal yang ia sesali. Mungkin juga banyak hal yang belum termaafkan di dirinya. Tapi bagaimanapun, saya tak mau men-judge dia macam-macam. Yang tahu dirinya dan sikapnya hanya dirinya sendiri. Saya sedih karena saya amat sayang pada beliau.

Tak perlu saya jelaskan apa dan bagaimana beliau, sosok yang seumur hidup akan saya sayangi dan hormati, seperti juga saya sayang pada ibu. Yang jelas, merekalah yang membuat sosok “pahlawan” itu jadi nyata. Mereka yang sejak awal memberi kebaikan dan kasih sayang–dengan caranya sendiri. Membuat saya merasa tak berani untuk membalasnya dengan pengkhianatan dan kesedihan. Padahal mereka tak pernah meminta dan menuntut saya harus apa dan bagaimana. Tapi saya akan sangat berdosa jika membuat mereka sedih dan kecewa (semua anak pasti berpikiran serupa, bukan?).

Mereka jadi pahlawan. Sebab merekalah sumber energi dan semangat yang terbesar, agar saya kuat melewati keseharian ketika itu terasa berat. Ada kalanya saya kecewa dan ingin lari dari segala yang melelahkan. Tapi ketika mengingat ibu, saya tak jadi serampangan. Keberadaan ibu, meski sekarang jauh dari mata, tapi ia semacam kontrol. Agar saya tak bertindak seenaknya. Agar saya berani menghadapi kepayahan. Agar tetap bertahan, bertanggung jawab atas pilihan, untuk sesuatu yang lebih baik.

Ibu saya semacam pahlawan. Meski tak bisa disebut super. Karena ia tak bisa terbang, tak berkelahi melawan begal, tak juga membela secara fisik ketika saya mengalami kesakitan dan kesulitan. Saya tegaskan sekali lagi, pahlawan super hanya ada dalam mitos belaka. Tapi ibu selalu bertahan bertahun-tahun di tengah keluarga. Ia tak banyak bicara tentang perannya membangun karakter di keluarga. Ia banyak memberi contoh. Maka ketegasannya amat terasa. Ibu selalu sabar ketika banyak pembangkangan yang ia terima. Ibu selalu datang lagi dan menyapa, menanyakan keadaan, ketika jawaban yang ia dapat adalah keluh dan ketus.

Maka, terima kasih untuk mereka. Bapak ibu, yang selalu jadi pahlawan. Terlepas dari semua kekurangan dan kelebihan. Kekecewaan sekaligus kebanggaan untuk mereka. Bagi saya, kalianlah manusia terbaik yang saya punya. Kalianlah yang membuat saya bersemangat untuk selalu sehat, agar kalian tak khawatir. Maka, tetaplah pula sehat, agar saya pun bahagia.

…. A heart of steel starts to grow.

cerpen: Mengejar Andika

Adhisa melangkah dengan gelisah. Ia harus segera bergegas sebelum semuanya terlambat. Jalan dan trotoar yang dipijaknya basah. Sebab hujan tengah turun begitu deras. Ia tak peduli meski pakaiannya menjadi setengah kuyup. Sebentar lagi ia bisa berteduh. Karena stasiun yang ditujunya sudah tinggal beberapa langkah lagi.

Namun kerumunan tukang ojek bercampur deretan pedagang kaki lima, pedagang asongan dan para peminta-minta agak menghambat langkahnya. Mereka sibuk bertanya berulang-ulang kepada siapapun yang lalu lalang, menawarkan jasa dan barang dagangan. Ada tukang ojeg yang tersenyum bosan sambil menawarkan tumpangan. Ada tukang gorengan dan cilok yang menawarkan kehangatan. Pun tukang minta-minta yang mempromosikan kemelaratan.

Diperhatikannya, kebanyakan dari para pedagang itu menggunakan payung atau plastik. Bukan untuk melindungi kepala dan tubuhnya dari basah melainkan menjaga barang dagangannya agar tidak rusak oleh air hujan. Kalau rusak, siapa mau beli. Yang ada mereka bisa pusing karena modal tak kembali. Peduli amat dengan panas dan hujan. Ini cara mereka mencari penghidupan. Bersama peluh dan napas yang tersengal. Dengan caranya yang khas, merekalah “pejuang” jalanan.

Orang kecil tak boleh sakit. Begitulah peraturannya. Mereka punya cukup tenaga untuk mengumpulkan receh yang bisa dibawa pulang untuk keluarga di rumah. Memang ada sebagian yang pemalas sehingga menjadi pemaksa atau penipu. Tapi setiap orang harusnya tahu, mana pejuang jalanan sejati, dan mana yang berengsek. Kerumunan itu terdiri dari individu-individu dengan masing-masing garis rezekinya. Tapi orang baik akan selalu menemui keberuntungan.

Beruntung, Adhisa berbadan mungil. Ia pun lincah menyelinap menerobos padatnya kerumunan. Lantas menjangkau terminal yang tak kalah ramai. Baik di antrean pembelian tiket kartu uang maupun di gerbang masuk. Suara petugas kereta mengumumkan lewat pengeras suara, bahwa kereta sebentar lagi akan berangkat. Sementara ia masih tertahan dalam antrean masuk stasiun. Tak berapa lama, ponselnya bergetar tanda pesan masuk.

“Kereta sebentar lagi tiba, Adisha, maaf, kamu gak perlu menyesal karena mungkin kita ga akan bertemu lagi,” kata si pengirim SMS dalam pesannya.

Membaca pesan itu, dahi Adisha mengerut sembari mengetik pesan balasan.

“Aku sudah di stasiun, tolong tunggu sebentar.”

Lantas, tak ada pesan balasan. Dalam hati, Adisha berharap seseorang yang tengah dikejarnya itu dapat ia jangkau. Sebelum ia naik dan dibawa lari kereta pagi.

Tiket telah dibeli. Tapi antrean masuk pun sungguh menguras kesabaran. “Sialan!” Ia menyerapah. Pasalnya, seorang ibu yang ada di antrean depan tampak kesulitan membuka palang stasiun denga kartu uang. Otomatis, antrean tertahan. Pantas saja, kartu uang ia tempel tak tepat sehingga sensor tak merespons dan membuka palang. Tak lama petugas datang membantu. Si ibu pun berhasil masuk dan berhasil menghambat pengejarannya beberapa detik.

Palang terlewati, hingga beberapa meter di hadapannya, kereta sudah tiba dan membuka pintu-pintu gerbongnya serempak. Disaksikannya, gerombolan manusia dari dalam kereta seperti tumpah, beradu dengan calon penumpang di luar kereta yang berebut minta masuk lebih dulu. Berdesakan, saling dorong. Pemandangan yang amat sangat biasa di Ibu Kota. Siapa kuat, dialah yang menang–dalam artian dapat tempat di dalam kereta. Syukur-syukur dapat tempat duduk. Begitulah manusia ibu kota. Entah di bus entah di kereta. Mereka telah terbiasa.

Sebab mengeluh tak ada gunanya. Kalau ingin nyaman bertransportasi, silakan naik taxi atau mobil pribadi. Kamu tak perlu capek mengantre membeli tiket atau berdesakan di kereta. Syaratnya, kamu harus punya cukup uang di saku, karena bayarannya pasti berkali-kali lipat dari ongkos kereta. Sayangnya, tak banyak manusia ibu kota yang berdompet tebal. Kebanyakan mereka ialah para buruh yang berangkat pagi pulang petang. Bertahan di ibu kota dengan gaji yang habis sebulan.

Maka beredarlah manusia-manusia yang tak sabar di jalanan. Pun manusia-manusia yang melampiaskan lelahnya di akhir pekan, mencari bahagia dengan mengunjungi pusat perbelanjaan. Lalu bekerja lagi, belanja lagi, makan enak lagi, berhemat di tanggal tua lagi, berdesakan di kereta lagi. Begitu berulang-ulang hingga mereka tua.

Adisha tak peduli dengan kelakuan para penumpang yang tak terkikis kebrutalannya itu. Toh ia pun bagian dari mereka. Penduduk kota yang mengandalkan transportasi massal untuk pergi bekerja.

Ia tak peduli, sebab fokusnya saat ini adalah seseorang yang mengiriminya pesan singkat beberapa saat yang lalu.

Matanya menyapu sekeliling. Seharusnya pengirim pesan tadi ada di antara kerumunan manusia yang akan siap berdesakan di dalam kereta pagi. Tapi sang pengirim pesan tak tampak di mana pun. Adisha segera memungut ponselnya lagi. Menelepon. Sebelum pintu kereta tertutup.

Beberapa detik kemudian tersambung ke nomor tujuan.

“Di mana? Aku udah di depan kereta juga, di deretan gerbong ketiga.”

Tak ada jawaban.

“Tolong jangan dulu masuk kereta.”

Masih tak ada jawaban.

“Hei!! Kamu tuli atau emang mendadak ga bisa bicara sih?

“…”

Bentakannya efektif. Akhirnya ada jawaban.

“Aku sudah di dalam kereta, maaf.”

Hening beberapa detik seiring pintu gerbong kereta yang menutup serempak. Adisha lemas.

“Kamu tidak perlu mengejarku lagi, percuma, semuanya sudah selesai, selamat tinggal,” kata sang pengirim pesan. Perlahan, deru mesin kereta terdengar. Makin lama makin bising. Kereta mulai berlari. Iakah benar-benar pergi.

Adisha terdiam. Menghela napas dalam-dalam.

***

Namanya Andika. Seseorang yang baru saja ia kejar, namun tak terjangkau. Kereta telah berlalu pergi. Tak mungkin berhenti, kecuali di stasiun selanjutnya. Adisha pun memutuskan untuk menyerah. Pakaiannya masih kuyup. Mungkin memang sudah seharusnya sahabatnya itu pergi. Ia dapat beasiswa bergengsi belajar ke luar negeri. Hari ini ia dijadwalkan naik pesawat merek Gagak Air pukul delapan pagi. Karenanya ia terburu-buru naik kereta pagi.

Ada cita-cita dan serangkaian obsesi yang ingin ia kejar. Makanya meski hujan mengguyur, sahabatnya itu tetap pergi mengejar pesawat pagi. Agar tak ketinggalan pesawat dan gagal berangkat.

Seharusnya Adhisa tak perlu susah payah mengejarnya. Seharusnya ia mendukung rencana perjalanan sahabatnya ke arah kemajuan.

Bukan. Bukan karena ia gadis manja yang tak mau ditinggal sahabat tercinta. Bukan pula karena sampai detik ini ia tak mengucapkan selamat dan doa perpisahan. Adisha meyakini bahwa ia bukan pelaku sinetron atau film picisan, di mana lakon utama rela hujan-hujanan, berteriak dan berlari mengejar pesawat, berharap dapat mencegah kepergian orang yang ia sayang.

Bukan pula karena rasa bersalahnya pada Andika sebab kejadian kemarin sore. Andika ketika itu datang ke rumahnya, menuntut ucapan selamat tinggal sekaligus doa. Tapi Adisha malah diam dan masuk kamar begitu saja.

Maka, jadilah Andika berangkat dengan sejumlah tanya dan kecewa. Adakah Adisha hanya bingung bagaimana melepas kepergiannya. Padahal Adisha yang ia kenal bukanlah tipe orang yang senang merumitkan situasi. Meski Adisha pandai menyembunyikan perasaannya, tapi ia tak pernah begitu memaksa seperti barusan. Adisha lebih suka menggunakan isyarat ketimbang kata. Padahal ia tak gagu. Ia hanya pelit bicara. Akhirnya, Andika hanya berpamitan dengan kedua orangtuanya saja.

Bukan. Sama sekali Adisha pagi ini datang ke stasiun karena merasa perlu mengucapkan kata perpisahan ataupun merasa bersalah ingin minta dimaafkan. Ia pergi bukan karena apapun. Ia hanya merasa harus pergi. Seiring kereta yang pergi, hujan berganti gerimis.

Selama ini Adisha meyakini, yang pergi biarlah pergi. Tak perlulah ada dramatisasi yang hanya akan membuat lelah hati. Jika akan pergi untuk selamanya pun, itu sudah jadi kehendak ilahi. Semua orang harus ikhlas menerima sekaligus melepaskan segala sesuatu yang merasa telah dimiliki.

***

“Hei!”

Seseorang memanggilnya dari belakang. Dari suaranya, terdengar seperti Andika. Dan ketika Adisha menoleh pun, wajahnya tampak seperti wajah Andika. Iakah itu memang benar-benar Andika yang memasang senyum penasaran? Ia berdiri agak canggung tanpa kopor mini berwarna biru tua. Hanya ada tas selempang di bahunya. Adakah ia tak benar-benar naik kereta?

Lagi. Adisha terdiam. Menghela napas dalam-dalam.

***

“Ini baru pertama kalinya aku lihat kamu dengan muka putus asa. Apa berat banget ya hidup tanpa aku,” Andika menggoda. Diakhiri tawa. Namun sesungguhnya ia hanya menutupi rasa lega. Karena wajah Adhisa yang pucat kini berangsur merona. Ia juga lega, karena entah mengapa ia merasa perlu untuk mendengarkan Adisha. Agar tidak naik kereta pagi ini.

“Dasar bodoh! Kenapa tidak naik kereta saja? Kamu seharusnya sudah ketinggalan pesawat,” Adisha berusaha bersikap biasa. Tapi semua orang pun tahu kalau ia tengah dilanda malu.

“Loh, ini semua gara-gara kamu,” jawab Andika.

“Setidaknya ada penerbangan selanjutnya, teman,” kata Adhisa datar.

“Maksudnya, kamu mau aku tetap berangkat?”

“Tentu saja, di sini kamu terlalu mengganggu. Hahaha.”

Andika tahu, kata-kata itu bermakna sebaliknya. Matanya mengaku, bahwa Adisha merasa berat ditinggalkannya pergi. “Haha, beginilah jadinya kalau kelewat percaya diri,” gumam Andika dalam hati.

“Kalau kamu mau, aku bisa saja tidak jadi mengambil beasiswa itu. Jika saja kamu kemarin sore meminta aku agar tidak pergi, aku nggak akan pergi.”

“Tidak ada yang bisa mencegah kamu pergi, kalau takdirnya kamu harus pergi.”

“Aku serius. Kamu hanya perlu meminta aku untuk tidak pergi.”

“Aku hanya meminta kamu untuk tidak naik kereta pagi ini.”

“Lalu untuk apa kelakuan barusan? Bangun pagi, hujan-hujanan dan basah kuyup mengejar kereta?!”

Adhisa terdiam. Ia tahu, pertanyaan itu pasti diajukan juga. Adakah ia harus mengaku? Tidak. Itu mustahil. Seharuanya Andika mengerti. Seharusnya Andika tak perlu bertanya kenapa.

Lima belas menit mereka terdiam. Mendengarkan hujan yang kembali deras.

“Baiklah.” Andika mengalah dan kembali membuka percakapan. Sebelumnya, tangannya merogoh tas dan mengeluarkan sebuah buku bersampul hijau lumut. “Ini kan yang kamu mau? Ini, bukumu, maaf baru dikembalikan, soalnya baru tamat dibaca semalam,” katanya.

Senyum Adhisa pun terkembang. Selalu ada alasan dari semua perbuatan. Entah itu dikarang-karang ataupun betulan, alasan membuat semua orang yakin akan apa yang diperbuatnya.

***

Langit tengah hari masih digerayangi awan hitam. Sesekali petir menyala disusul geledek yang mengejutkan telinga. Kabar buruk disampaikan berita di televisi. Pesawat Gagak Air yang berangkat hari ini pukul delapan pagi dilaporkan hilang kontak.

Semua orang cemas, terutama keluarga dan sahabat-sahabat para penumpang pesawat hilang. Selebihnya tercengang karena semua orang waras pastinya akan merasa miris mendengar musibah. Meski tetap saja, beberapa yang tak waras kerap menjadikan musibah sebagai sarana humor dan cari untung belaka.

Tim pencari mulai diturunkan. Hanya tinggal menunggu waktu saja, hingga berita selanjutnya menayangkan perkembangan terbaru soal kondisi pesawat hilang. Ada dua kemungkinan. Apakah ditemukannya bangkai pesawat beserta para korban di tengah lautan, atau mereka semua hilang tak berjejak.

01012015, untuk kita semua yang prihatin atas jatuhnya pesawat air asia QZ8501

cerpen: Kisah Pagi Buat Kelana

“Kasih ibu, kepada beta, tak terhingga sepanjang masa.” Ingatkah penggalan syair lagu itu, Kelana. Ketika kecil dulu, kita sering menyanyikannya bersama teman sebaya lainnya. Menambahkan dengan satu kata di akhir setiap kalimatnya. Lalu menertawakannya, karena kata-kata yang ditambahkan justru bertolakan dengan makna lagu sesungguhnya: Kasih ibu tiri, kepada beta beti, tak terhingga sepanjang masa bodoh. Begitulah kira-kira. Dan seteruanya, dan seterusnya.

Tapi meski ibu kita mendengarnya, mereka sama sekali tak merasa tersinggung. Medengar anak-anaknya bisa bernyanyi dengan riang saja, mereka akan ikut senang. Begitulah ajaibnya hati makhluk bernama ibu. Terpujilah mereka yang kesabarannya maksimal buat anak-anaknya.

Barusan, lagu itu terdengar di layar televisi. Ditayangkan oleh salah satu rangkaian iklan komersial. Karena hari ini, katanya, hari ibu. Hari di mana lazimnya semua anak yang berbakti, mengucapkan selamat dan doa bagi ibu-ibu mereka, lalu bagi yang mau berbuat lebih, ada peluk dan hadiah yang diberikan kepada sang ibu.

Kita memang senang dengan upacara, perayaan dan semua yang bersifat seremonial, bukan? Ada hari ibu, ada pula hari ayah, anak, mungkin juga ada hari paman atau nenek. Ada pula hari pahlawan, hari pernikahan, hari ulang tahun, dan hari-hari lainnya. Bahkan, hari perayaan kematian pun ada.

Mungkin karena kita adalah makhluk yang cepat lupa. Makanya harus ada perayaan sebagai pengingat. Entahlah. Mengapa pula harus usil. Bagi mereka yang mau punya banyak perayaan, rayakanlah dengan senang hati. Jika tidak, maka tak usah usil dan mengganggu kebahagiaan mereka yang tengah berseremoni.

Kelana, televisi yang barusan menyanyikan lagu “Kasih Ibu” itu berada di ruang tunggu bandara. Suaranya mengusik dini hari yang hening. Lihatlah sekeliling. Kebanyakan penumpang menunggu dengan kantuk. Rata-rata membawa ransel besar. Menanti perjalanan udara yang akan berlangsung beberapa menit lagi.

Dengan keperluan yang pastinya menurut mereka penting. Begitu pun denganku. Dengan alasan pekerjaan, aku bersusah payah bangun dini hari. Memangnya siapa yang mau bangun berangkat ke bandara dini hari. Lebih nyaman tidur di kamar, berselimut dan hangat.

Televisi punya ragam tayangan. Pagi ini, salah satu saluran menayangkan berita kriminal untuk dipertontonkan. Ada kisah pembunuhan anak SMK di daerah anu, ada penculikan di daerah ani, TNI meledakkan kapal ilegal asal negara inu di lautan ana.

Pasangannya berita kriminal adalah korban. Dan kamera selalu bernafsu menyorot wajah pilu. Makin menangis, makin senanglah ia. Karena tayangan akan lebih nyata dramatisnya. Simpati itu dibarengi komeraialisasi. Hipokrasi media.

Di layar kaca, juga diberitakan ada bencana di mana-mana. Hujan selalu membawa berkah, tapi pengelolaan alam yang seenaknya membuat longsor di mana-mana. Bencana itu membuat harta benda mendadak raib atau nyawa melayang.

Di sebelah sana, tiga bocah lincah berlari dengan alas kaki yang berdecit. Bunyinya nyaring bersaing dengan suara televisi. Tapi bunyi langkah kaki mungil yang riang itu terdengar menyenangkan. Kamu seharusnya ada di sini, Kelana. Bersamaku, mendengarkan langkah bocah yang berdecit. Senyum bocah-bocah itu terkembang karena hati mereka yang riang.

Diperhatikan lebih detil, tampak bocah terkecil wajahnya cemas karena tertinggal kedua kakaknya yang berlari lebih cepat. Tapi kecemasannya hanya beberapa saat saja. Ketika si kakak sudah akan putar balik, ia masih di pertengahan jalur. Sang bocah tertegun sejenak. Raut cemasnya memudar, merasa sang kakak tengah menjemputnya. Ia pun segera putar balik. Berlari lagi beriringan dengan langkah kaki berdecit.

Anak-anak memang selalu riang. Pagi ini menyenangkan melihat bocah ceria ketimbang mendengarkan siaran televisi subuh hari. Karena dari semua suguhan yang diterima indra, sedih dan bahagia hanya urusan pilihan saja.

Lantas bagaimana denganmu, Kelana? Apa yang tengah kamu lakukan di dini hari yang sejuk ini. Masih tidurkah? Atau sedang sibuk membaca buku sejarah? Kamu selalu lupa waktu ketika dihadapkan dengan buku. Meski tentu saja bukan urusanku menanyakan itu.

Baiklah, petugas bandara sudah memberitahu agar segera mengantre masuk ke perut burung besi. Kisah yang //ngalor-ngidul// pagi ini sekian dulu. Doakan saya, Kelana, agar perjalanan pagi ini lancar jaya. Waktu keberangkatan sudah tiba. Di mana pun kamu berada, saya juga hanya bisa berdoa. Tentunya doa-doa terbaik agar kamu selalu sehat dan selamat.

22122014, ketika di bandara soeta menunggu pesawat dalam perjalana luar kota.

Pagi (Bagian I)

05.00

03042015

“Semua hal baik tersedia di pagi hari”

Senangnya pagi ini. Masih diberi nafas untuk menikmati pagi, setelah melepas sadar semalaman. Makanya, doa yang diajarkan secara turun temurun di keluarga saya yakni: maha suci Allah yang telah “menghidupkan” setelah “mematikan”, dan kepada Allah lah kita kembali. Ini doa yang keren. Seperti pagi yang selalu keren.

Semakin baik, ketika di pagi hari kita tak terbebani dengan tuntutan liputan. Hahaha.. Ya betul, hari ini saya libur sampai besok. Mari bersorak. Banyak yang harus dibenahi. Kamar saya, dapur dan diri saya sendiri.

Ketika suasana pagi di kosan masih syahdu, di mana para tetangga kosan masih menyepi di kamar masing-masing, di mana semua dari kita masih bermalas-malasan dengan kehangatan dan selimut, di luar sana ada banyak orang yang sudah melek dan bekerja. Terbiasa kedinginan. Merekalah yang kerap disebut “pemerintah” sebagai masyarakat kelas bawah. Mereka yang berada di jalan, mewarnai kehidupan pasar.

Sempat saya melihat sekilas aktivitas mereka yang sibuk beberapa kali, ketika terpaksa turun ke jalan karena harus datang ke lokasi liputan pagi hari. Sepanjang jalan melewati kawasan Pasar Minggu, saya terhenyak. Semua orang di jalanan itu sibuk. Sejak dini hari mereka mempersiapkan barang dagangan, mendorong gerobak, mengangkut sayuran dan barang dagangan lain, menempuh becek dan lumpur, bercampuran dengan aroma limbah dan bau sampah. Sebab ada “gunung sampah” dekat terminal yang berada di belakang pasar.

Mereka telah terbiasa bekerja keras untuk penghidupan mereka. Memang sebagian dari mereka ada yang berpenghasilan besar karenanya, meski sebagian lagi ada yang hanya menerima receh dari keringatnya. Tapi mereka memang pantas mendapatkan uang yang banyak. Toh pergerakan mereka untuk memerolehnya sangat istimewa bahkan terhormat.

Makanya saya selalu kagum dengan orang-orang yang bekerja di pasar tradisional. Merekalah para pejuang keluarga. Mereka yang berkeringat dan kotor secara fisik, untuk hasil yang bersih dan halal. Mereka jauh lebih terhormat dari pada mereka yang kerap saya temui sebagai narasumber liputan. Yakni mereka yang bersepatu, berjas, memakai dasi, dandanan yang bersih tapi entah sumber penghasilannya dapat dari mana. Masyarakat yang katanya disebut kelas bawah, tahu bagaimana berhemat dan melakukan efisiensi cerdas. Tapi orang-orang berdasi itu kebanyakan hanya tahu bagaimana cara menikmati hidup dengan bayaran rupiah.

Memang telah banyak ketimpangan kegiatan di pagi hari. Ketika orang di pasar sibuk mencari nafkah, jauh di luar sana para pejabat dan bahkan kita masih tidur bermalas-malasan. Ketika ada mereka yang mencari rupiah dari hasil mengumpulkan uang recehan kumal, ada yang dengan mudah menerima amplop gaji ratusan ribu bankan jutaan. Di sebelah sananya lagi, ada orang macam kita yang sedang menikmati nyamannya kamar hotel atau semalaman karokean. Lalu membayar uang yang cukup mahal, ketika orang-orang yang beberapa meter di dekatnya tengah berpikir keras bagaimana caranya berhemat agar penghasilannya dapat cukup memenuhi kebutuhan makan dan harian ia dan keluarga. Ah.. Betapa orang-orang seperti kita kadang tidak mensyukuri hidup denga bermalas-malasan. Cuma bisanya Whats app-an, BBM-an, selfie-an, ngerumpi ria, dan segala macam sampah harian.

Alhasil, orang-orang pasar menjadi penjaga pagi. Tidak. Bahkan ia menjadi penjaga kita sepanjang hari. Menjadi tempat bertanya alamat, tempat menyapa, lebih jauh menjadi pemberi pelajaran hidup. Terima kasih atas keberadaan mereka, Tuhan.

Pagi selalu mengundang berkah. Mari selalu bertafakur. Menjaga kewarasan diri.

Pulang (Catatan Kecil Soal “Pulang”-nya Leila S Chudori)

Catatan lama di 09032015

Barusan tamat baca novel “Pulang”-nya Leila S. Chudori. Lalu tergelitik untuk menulis komentar kecil. Meski telat membaca, itu lebih baik dari lada tidak sama sekali. Haha.

Baiklah. novel Pulang bercerita tentang sejarah kehidupan keluarga eks tahanan politik yang dituding penggerak aksi berbahaya bernama Partai Komunis Indonesia (PKI). Di mana ketika membacanya, ada setiap jeda, ketika untaian paragraf itu mengalir merangkai cerita. Bermula dari kisah Hananto, Dimas Suryo, Neng Surti, hingga Lintang, Alam dan juga ada Nara. Serta tokoh lainnya yang berentet banyak.

Biasanya jika saya membaca buku novel dengan tokoh yang banyak, kerap kali saya terlupa tentang sebagian nama dan tokoh ceritanya. Karwna mungkin membaca tanpa konsentrasi maksimal. Tapi penulis berhasil mengikat mereka. Membentuk masing-masing karakternya hingga saya tak merasa perlu lagi membolak-balik halaman buku untuk menyambungkan kisah-kisah yang terangkai. Semua berkarakter. Semua menempel di otak. Mengalir.

Dalam Pulang diceritakan, betapa satu rezim yang berupaya mempertahankan kuasanya secara kekal mampu membuat hidup sejumlah orang menjadi sulit, bahkan hingga keturunannya pun menjadi sulit. Ia pun membuat bangsa ini melakukan dosa berjamaah, disadari maupun tidak. Sebab kebanyakan orang mau tak mau jadi menghakimi orang lain tanpa ia ketahui secara pasti alasannya. Membuat orang menyatakan ngeri dan benci, untuk sesuatu yang “katanya” berbahaya.

Sempat ada suatu masa, ketika semua orang dibisiki ada hantu PKI, lalu mereka dengan sendirinya merasa jeri. Berusaha melindungi diri agar tak tersentuh bahayanya. Pemerintah sebagai dalang dan perancang pemusnahan kelompok PKI kemudian menegaskan sejumlah aturan, agar pergerakan orang-orang yang diaebut PKI itu menjadi sempit, terhimpit, lalu hilang.

Di sisi lain, tetap saja ada orang-orang yang melawan. Sebab merasa jadi korban. Sebagian lagi bertahan dan pasrah. Dikisahkan bagaimana mereka yang jadi korban itu “bertahan”. Ada pula yang bersemangat mencari keadilan setiap hari. Meski ada pula yang menyerah. Mengikuti alur. Berbohong.

Tapi setiap ibu selalu punya pintu maaf untuk anaknya. Dan jalan pulang selalu terbuka buat mereka yang ingin kembali setelah melakukan kesalahan,

Saya sebenarnya tak begitu detail mengikuti kisah pewayangan atau mahabarata. Hanya menonton sekilas sekilas lewat tayangan sinetron karmapala, film india, kisah guru dan dosen, rumpi di antara teman-teman atau dari penggalan cerita pada buku yang belum selesai dibaca. Tapi dari novel Pulang, saya jadi paham sedikit soal sosok Ekalaya. Dia yang selalu mencintai mahaguru. Padahal ia dikhianati. Padahal barang penting miliknya (jari untuk memanah) dirampas. Demi ego Arjuna yang tak mau punya saingan. Tapi kesetiaan Ekalaya selalu terjaga. Seperti juga Dimas yang diusir oleh tanah airnya, tapi ia tetap sangat menginginkan untuk berpulang ke sana. Indonesia.

Ia juga sesosok Bima. Yang paling teguh menjaga cintanya buat Surti.

Pulang ialah sepenggal kisah tentang sejarah kelam bangsa Indonesia. Si penulis cerdas membingkainya dalam kisah keluarga dan cinta. Love u Bu Leila.

Yap. Cinta. Dia selalu jadi bumbu yang menarik jika disampaikan dengan pas. Tapi bikin garuk-garuk kepala atau bahkan bikin muntah kalo disampaikan berlebihan. Menyoal Dimas Suryo, Hananto dan Surti. Atau keturunan mereka, Lintang Utara, Nara dan Alam, kisah cinta itu terselip apik ketika penulis mulai membedah kepiluan para korban tahanan politik.

Vinta dikemas apik, meski tetap ada yang terasa kelebihan bumbu. Lihat saja, Neng Lintang akhirnya kepincut sama sosok Alam, terserang //le coup de foudre//. Halilintar, petir, cinta pada pandangan pertama. Penulis membuatnya logis. Saya tergelitik sebab penulis mampu membuat semuanya natural dan tak ada yang perlu dimasalahkan. Padahal Lintang tengah bertindak tak setia pada kekasihnya. Seperti sinetron. Dengan tokoh-tokoh yang serbasempurna. Cantik, ganteng, pintar, berani, idealis. Mereka semua dengan kisah percintaannya itu memang hanya ada dalam karangan belaka.

Tapi, toh soal Lintang yang berselingkuh denga Alam, ini hanya urusan pilihan. Sebab pada akhirnya, Neng Lintang pun sadar, meski lebih mudah untuk tidak memilih, seolah tak ada konsekuensi, tetapi memilih adalah jalan hidup yang berani.

Akhir kata, ini bukan catatan resensi. Hanya apresiasi sederhana untuk Bu Leila Chudori. Dia yang melalui cerita ini memberi saya satu pemahaman. Bahwa semua orang harus pulang. Seberapa lama dan seberapa jauh seseorang berkelanam pada akhirnya semua orang akan memilih tempat pulangnya. Jika tidak, maka nasib yang akan memilihkan tempat pulang itu untuknya.

Salam Indonesia, Tetaplah merdeka. Untuk tersenyum, berpikir dan berbagi kebaikan.

April

06.34

1 April 2015

“Selamat datang biasanya diucapkan untuk sesuatu yang baru. Ia juga sekaligus menjadi tanda ucapan selamat tinggal untuk yang telah berlalu.”

Banyak rindu yang terasa di bulan April. Kepada sahabat yang sempat menemani tawa dan tangis di masa lalu. Pun kepada keluarga di rumah, yang masih menjadi tempat pulang terbaik buat saya. Di April ini rindu itu makin terasa. Membuatku jadi tak manja. Malah jadi banyak melantunkan banyak doa buat kebaikan mereka.

Para sahabat yang pernah menjalani kebersamaan secara fisik di masa lalu. Merekalah orang-orang pilihan. Yang sabar menunggu kapan saya mau sendiri, dan kapan harus ditemani. Mereka pun rela tersenyum, ketika saya datang dan pergi seenaknya, memutuskan secara sepihak kapan bisa diajak dan tidak bisa diajak bicara. Mereka yang bertahan, meski kadang rasa peduli saya terhadap mereka tak sebanyak mereka peduli kepada saya. Mengingat kebersamaan kami di masa lalu membuat saya merasa egois. Tapi Tuhan! Terima kasih atas keberadaan mereka.

Apa mereka tahu, sekarang ini saya kerap merasa sendirian. Terlebih saya masih kaku dengan lingkungan asing plus orang-orang baru. Padahal pekerjaan saya menuntut untuk selalu cepat menyesuaikan diri dengan cerita-cerita baru setiap harinya. Apa mereka masih sudi dihujani keluh kesah diri, bahwa kerap kali saya merasa gagal dalam bersosialisasi yang baik dengan orang asing yang datang dan pergi setiap hari. Saya bahkan kerap merasa terasingkan lantas memilih menghindar dan sendirian.

Tapi saya juga ingin bilang pada mereka agar jangan terlalu khawatir. Sebab saya memang suka mendramatisir ketidaknyamanan. Hehehe… Jangan terlalu khawatir, karena di sini pun saya bertemu orang-orang baik yang peduli. Memang tak banyak, tapi itu cukup bagi saya agar kewarasan diri senantiasa terjaga.

seperti datangnya April, saya menyambut kedatangan mereka dengan hati yang riang. Mereka yang sudi mendengarkan cerita-cerita aneh saya, kekonyolan diri, bahkan catatan-catatan kecil sekadar peluap emosi. Mereka juga bersedia menemani keseharian, saling berbagi senyum dan cerita.

Sesekali bahkan bercerita tentang kalian. Semua yang ditinggal di masa lalu, yang berusaha diaimpan secara apik di hati. Selamat datang April. Sebab baiknya sesuatu yang baru disambut dengan hati riang, dan yang lama diikhlaskan untuk pembelajaran serta kenangan.

Kecoak

05.14

31032015

download

“Sering kali kita tak menyadari bahwa sesuatu yang kita benci, atau kita takuti, adalah sesuatu yang paling kita kenali.”

Contohnya kecoak. Barusan ada kecoak mengendap-endap masuk melewati pintu kamar kosan saya yang setengah terbuka. Padahal dia berjalan mengendap-endap, dan saya sedang tidur setelah bikin satu berita pagi. Eh, entah telinga saya yang jeli, atau memang saya sangat kenal sama makhluk mini itu, dalam tidur saya mendengar langkah kakinya yang membuat merinding. Yap, ketika itu saya tak tahu itu apa. Tapi tiba-tiba saja jadi merinding dan meloncat bangun.

Benar saja kan! Si kecoak tanpa permisi lewat dengan cepat. Seperti mabuk. Melenggang tepat satu meter di atas kepala, lalu bersembunyi di kolong lemari. Yatuhaan. Ketakutan saya makin menjadi-jadi. Respons yang sudah dihapal oleh anak-anak satu kosan. Panik!

Ya. saya tahu kecoak adalah makhluk kecil yang tak menggigit dan tak seharusnya ditakuti. Rasa takut yang berlebihan ini pun seharusnya tidak ada. Siapa yang suka punya kepanikan berlebih terhadap suatu hal. Sama sekali tidak keren merasa terintimidasi oleh kecoak. Tetangga kosan tak ada yang bisa segera dinintai tolong. Makanya, saya harus //fight// sendirian. Mengendap-endap saya ambil sapu dari dapur. Si kecoak tampaknya taku rencana saya, dan mulai melalukan pergerakan.

Plis, itu sangat menakutkan.

Di antara degup jantung yang makin cepat, sapu saya angkat sebelum si kecoak makin liar. Yap. Dengan satu sapuan sakti, si kecoak mental. Teman yang melihat aksi brutal saya segera sigap membantu. Mengambil racun serangga lantas menyemprotkannya secara bertubi-tubi pada itu kecoak.

Kasihan sih, sebenarnya. Tapi apa boleh buat. Ajalnya sudah tiba. Ia terbaring lemas keracunan. seketika, kaki-kakinya berhenti berontak. Kecoak itu mati.

Baiklah. Kembali ke kecoak. Ini bukan kali pertama saya menghadapi keberadaannya. Hampir dalam semau situasi, kejadiannya begini. Datang kecoak-panik-menginginkan kemusnahannya. Begitu berulang saat datang kecoak. Saking takutnya, saya sampai hapal jika keberadaannya mulai terasa mengancam. Saya sampai hapal baunya, suara langkahnya, bahkan prediksi pergerakannya. Huaaaaahaha. Cerita apakah ini.

Tapi sebenarnya yang ingin saya sampaikan adalah, jangan terlalu berputus asa ketika kamu memiliki ketakutan terhadap satu hal. Sebab justru dari ketakutan itu, kamu akan berpikir bagaimana merancang strategi pertahanan.Untuk kecoak, kamu akan jadi lebih menjaga kebersihan, karena kamu tahu, kecoak datang diundang oleh kekotoran. Tapi, ketika upaya pencegahan itu sudah dilakukan, dan ia tetap datang, otak berpikir untuk melakukan langkah cepat. Lantas membangkitkan keberanian. Meski akan ada rasa panik dan konyol ketika menghadapinya, tapi itu semua sensasi agar keberanian makin terasa. Dengan memiliki rasa takut, kamu juka akan lebih mengenalnya–meski memang sesuatu yang berlebihan selalu tidak baik.

Sederhana saja, ambilah sisi positifnya.

Lagi pula, kematian kecoak itu tak sia-sia. Sebab kemudian ia mampu menyuruh saya membuka laptop dan menuliskan tentangnya. Ini bahkan jadi tulisan pertama saya di blog baru ini. Apalah pula.

Baiklah. Sekian dan terima kasih. 😀

Mulai Lagi (Artikel Perdana Cerita Pengelana)

panda-1892023_1280

Hai ….

Sudah berapa banyak tulisan yang saya mulai, tapi tak terselesaikan. Namun bersyukurlah pada hari ini, entah dapat hidayah dari mana, saya memutuskan untuk membuat blog yang baru. Sebenarnya ini bukan blog pertama. Dulu sempat ada dan banyak sarang laba-labanya di blog pendahulunya. Namun karena kondisinya dan kualitas tulisannya terlalu mengenaskan, mereka saya tinggal begitu saja. Lantas berlabuhlah saya ke sini, CERITA PENGELANA.

Jeng jeng jeng….

Baiklah, saya mengaku. Di waktu yang lalu-lalu, saya betul-betul tak berdisiplin dalam menulis. Beragam alasan dibuat semacam tak ada fasilitasnya, tak ada inspirasinya, atau tak ada waktunya. Padahal alasan sebenarnya hanya satu: Malas.

Ya, begitulah faktanya…

Tapi selalu ada kesempatan bagi orang-orang yang mau bertaubat, kan?

Mari deh kita menulis lagi. Mari merefleksikan diri. Mari berkarya lagi.

Sebenarnya pembuatan Cerita Pengelana juga disulut oleh keberadaan teman-teman reporter ketika beberapa tahun lalu saya berada dalam satu komunitas dengan mereka. Geng reporter yang juga tetangga kosan saya itu adalah Risa, Hilya, Kristi dan Binti. Kita kala itu sepakat untuk bisa menulis untuk diri sendiri juga, di luar kepentingan pekerjaan.

Kisah perjalanan setahun Cerita Pengelana bisa kamu baca di sini.

Pada intinya, pengelolaan Cerita Pengelana  di tahun-tahun sebelumnya bukannya seprti jalan tol yang lancar jaya. Ada rasa malas yang tetap melanda, serta kelakuan tak disiplin dala menulis yang seharusnya tidak bisa ditoleransi.

Untuk menyelamatkan saya dari ketidakseriusan ini, saya pun melakukan upgrade berbayar ke versi Premium. Semoga di tengah situasi pengangguran saat ini, saya bisa fokus belajar dunia blogging hingga akhirnya menjadi seorang Fulltime Blogger yang baik.

Semoga Istikomah.

Sumber Gambar dari sini