Basa-Basi, Dilema Antara “Berbuat Baik” dan “PHP”

composing-2925179_1280
Orang Indonesia memang juaranya berbasa-basi, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Sikap ini sudah membudaya, diajarkan secara turun temurun, dan dianggap sebagai hal yang lumrah. Sebagai gantinya, orang yang tidak mahir berbasa-basi mungkin akan dianggap tidak peka, kurang sopan atau tidak tahu tata krama. Begitu pula dengan orang yang dianggap terlalu berlebihan dalam berrbasa-basi. Mungkin ia akan dianggap sok baik, terlalu berisik atau Pemberi Harapan Palsu (PHP).
Dilematis.
Basa-basi menurut KBBI adalah suatu adat, sopan santun dan tata karma pergaulan. Ia juga diartikan sebagai ungkapan yang digunakan hanya untuk sopan santun dan tidak untuk menyampaikan informasi. Dalam kehidupan sehari-hari, penerapan basa-basi bisa kita dapati dan lakukan ketika menyapa orang, menanyakan kabar teman hingga menawarkan bantuan.
Nah, untuk yang terakhir disebut, saya belum lama ini sempat merasa jadi korban basa basi orang yang menawarkan bantuan. Sebagai rekan kerja, saling berbasa basi sangat direkomendasikan demi kenyamanan selama berjam-jam di tempat kerja. Kami bersama tim saling bercengkrama, sesekali canda, lantas selebihnya bekerja menurut job desk masing-masing.
Hingga kemudian dia menawarkan bantuan yakni “kasih tumpangan motor” karena arah rumah kita searah. Saya yang memang senang dengan yang gratisan senang-senang aja ditawari begitu. Saya pun menumpang dia hingga beberapa hari kemudian.
Tapi rupanya saya tak peka, mungkin juga tak tahu diri. Dia yang pada awalnya menegaskan tidak bermasalah dengan helm, ternyata pada akhirnya bilang “takut ditilang polisi”. Dia yang pada awalnya mempersilakan saya menumpang, tapi kemudian sibuk cari rekan lain untuk kasih tebengan karena dia keberatan.
Di saat seperti itu, saya jadi merasa seperti orang hina yang menyusahkan. Ditambah pada dasarknya saya itu baperan. Seharusnya sejak awal saya peka dengan basa-basi itu. Seharusnya saya juga taat hukum dengan tidak menumpang motor tanpa helm. Jika begini kejadiannya, seharusnya sejak awal saya bersikap gentle dengan tetap minta diantar pulang sama Abang Grab saja.
Tapi kemudian saya berpikir lagi. Mengapa saya mendadak merasa jadi orang yang tak tahu terima kasih dan pendendam begini? Mana bisa saya menyebut pertolongannya memberi tumpangan Sang Teman sebagai praktik basa-basi yang diseriusi, lalu berujung pada keterpaksaan yang disembunyikan?
Seharusnya tidak begitu.
Seharusnya saya berprasangka baik, sebab faktanya, teman saya itu mungkin memang benar ingin menolong, merasa kasihan dan pada akhirnya menawarkan tumpangan. Ini mutlak kesalahan saya saja yang hanya berpikir dari sisi keuntungan saya sendiri. Harusnya saya berpikir lebih panjang, bahwa menumpang tanpa helm adalah berisiko, bahwa saya tidak boleh terus bergantung pada rekan yang baru saja dikenal, bahwa dia pun seharusnya tak sembarangan memberi tumpangan yang berisiko.
Sejenak kemudian saya bercerita pada teman tentang kebaperan saya yang berlebihan ini. Lalu dia bilang, bahwa kejadian tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh kami yang memang belum terlalu akrab. Jadinya ada saling tidak enak, lalu jadi banyak berprasangka yang macam-macam. Saya sepakat pada pendapatnya. Saya mau membiarkan ini berlalu saja. Semoga ini menjadi pelajaran buat saya agar lebih cerdas membedakan, mana basa-basi, mana bercanda dan mana yang serius.
Akhir kata, semoga kita semua bisa memberi dan menerima pertolongan sesame manusia dengan niat yang tulus dan tanpa prasangka buruk. Bersemangatlah!