Kekhawatiran Berlebih

worry-about-hog-2030840_1920

Sumber Gambar dari Sini

Semua orang senang jadi obyek perhatian, dipedulikan, dikhawatirkan. Tapi jika kepedulian itu disampaikan secara berlebihan, maka akan berdampak buruk baik bagi obyek maupun pelaku perhatian.

***

Akhir pekan kemarin tak terlalu menyenangkan, bahkan melelahkan buat saya. Bahkan untuk mencuci baju dan menyetrika saja saya harus curi-curi waktu di tengah malam. Kali ini saya tengah menjalani episode, di mana kesempatan bersantai terasa begitu sempit karena waktu banyak dihabiskan untuk urusan pekerjaan dan macet jalanan.

Tapi saya tidak mau iri dengan kalian yang bisa pergi liburan dan bermain bersama keluarga, sahabat dan gebetan di akhir pekan. Itu sudah jadi rezeki kalian jika bisa memanfaatkan momen senggang untuk menyenangkan pikiran. Sudah rezeki saya pula untuk menerima kesempitan waktu untuk sekadar menulis dan membahagiakan diri sendiri hari ini.

Maka dari itulah, di sini saya tak ingin banyak bicara tentang keluhan yang melelahkan, melainkan ingin berfokus pada apa yang telah saya bicarakan di awal, yakni perihal kepedulian dan kekhawatiran.

Cerita bermula ketika saya pulang ke kontrakan adik di Cibaduyut, setelah mengurusi pekerjaan pada minggu sore. Sedikit informasi, adik saya sedang bekerja di perusahaan kontraktor selama beberapa bulan. Ia bertugas mendata dan mengawasi suatu proyek pembangunan sekolah.

Adik saya ini sejak pagi sudah bilang, kalau di hari tersebut ia akan pergi ke temannya di daerah Cimahi, katanya ingin belajar perhitungan yang berkaitan dengan pekerjaan “nge-cor”. Setelah saya telusuri, ternyata agenda tersebut bukan instruksi dari atasan, melainkan inisiatifnya sendiri yang ingin “belajar” agar nanti mahir jadi perencana pembangunan.

Saya menanggapinya dengan sedikit antipati, bahkan saya menyarankannya untuk tidak berangkat saja. Sebab posisinya ia sedang libur dan seharusnya istirahat saja atau belajar di kontrakan. Bukankah ia ingin melanjutkan studi ke luar negeri?

Tapi seperti biasa, ia tidak mengindahkan saran saya dan tetap pergi setelah maghrib. Saya mempersilakan ia membawa handphone saya untuk order grab agar transportasi jadi praktis dan lancar. Sementara saya menunggu di kontrakannya.

Satu jam, dua jam hingga lima jam berlalu. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam dan si adik belum juga pulang. Parahnya, ia sama sekali tidak memberi kabar, pun tak terjangkau ketika dikontak. Secara otomatis rasa khawatir hadir secara berlebihan. Terlebih, yang saya tahu Bandung adalah kota Cinderella di mana kondisinya sangat rawan di kala malam.

Sambil terus melawan pikiran negatif tentang kondisi adik, saya pun segera mengontak dan menelepon teman-temannya serta atasannya. Saya bahkan berniat menyusul ke Cimahi karena tak kunjung dapat informasi terbaru tentang adik.

Hingga kemudian waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Ada info dari orang kantornya bahwa adik saya masih di tempat nge-cor, dan akan segera pulang. Tak lama setelah kabar itu datang, adik saya juga memberi kabar bahwa dia akan pulang.

Mendadak lega hati saya, meski rasa kesal masih terasa. Kesal, mengapa sejak awal tidak memberi kabar? Mengapa seperti orang yang hidup sebatang kara dan sama sekali tak peduli dengan kakak yang sedang mencemaskannya? Mengapa sok-sok rajin bekerja dengan modus mencari wawasan, padahal sama sekali tidak bijak dalam manajemen waktu.

Begitulah. Bahkan ketika ia sudah memberi kabar, rasa kesal dan sebal tetap berjaya.

Lantas sekitar pukul setengah dua dini hari, si Adik pulang. Dia nyengir, tapi saya balas memelototinya. Saya sudah terlalu lelah untuk mengomel, makanya saya diam saja sambil terus membatin “Mengapa saya punya adik yang begitu menyebalkan!”.

***

Singkat cerita, dampaknya sungguh terasa pagi ini. Entah rasa khawatir yang tak terkendali itu akan berdampak bagaimana untuk kesehatan jiwa saya di jangka panjang. Tapi yang jelas, efek negatif sudah mulai terasa hari ini, di mana badan jadi terasa ngantuk dan lelah.

Sekian kisah saya hari ini. Pada intinya ini hanya tulisan unek-unek belaka. Jika ada pesannya, mungkin bunyinya seperti ini: Khawatir secukupnya saja. Jangan terlalu berlebihan, nanti kamu bisa lelah sendiri. Jangan pula khawatir berkepanjangan, sebab nanti obyek perhatian akan jadi jengah dan tidak nyaman.

Sekian.