Mengabadikan Jejak Kakek Amir yang Tertinggal di Bandara

waters-3022917_1920Di suatu pagi, ketika Bapak mengantarkan saya menunggu kereta di Stasiun Gambir, ada sedikit kisah tentang Kakek misterius bernama Amirsyah. Disebut kakek, sebab dia merupakan ayah kandungnya bapak kandung saya. Dikatakan misterius, sebab sejak lahir hingga 27 tahun kemudian, saya belum pernah melihat sosoknya, fotonya, maupun mendengar kisah tentangnya. Bagi saya Kakek Amir adalah misteri, entah bagi cucu beliau yang lainnya.

Entah mengapa pula, ketika prosesi menunggu kereta itu masih berlangsung, saya tergerak untuk menanyakan perihal keberadaan Kakek Amir pada Bapak Maruf. Dengan gaya reporter kekinian, saya menyulut sedikit tanya, lantas bapak segera menjawabnya dengan mata berkaca-kaca.

Bapak kala itu terdiam sejenak, sebab mungkin butuh waktu untuk membahasakan kenangan yang tidak terlalu membahagiakan di masa lalu. Ia juga mungkin perlu memilah kata yang tepat, agar cerita yang nantinya dituturkan pada anak perempuan nomor tiganya ini dapat dimengerti.

Saya menunggu, dan Bapak pun mulai mengeluarkan kalimat pertama.

Baca Juga Kisah Nostalgia Lainnya: Kisah Nostalgia Garap Skripsi Kala Itu

“He was a lonely old man, seorang laki-laki tua yang kesepian,” kata Bapak diakhiri senyum yang getir. Mendengar kata-kata pertama dari Bapak, sepertinya mendadak ada luka di hati saya. Perih. Ah, padahal belum ada cerita yang diutarakan, tapi aura muram langsung melingkupi kita. Sambil menunggu kata-kata bapak selanjutnya, saya menarik napas panjang, berusaha menahan air mata.

Ia menyebut Kakek Amir dengan sebutan “Ayah” dengan perasaan sedih campur bangga. Bagaimana tidak bangga punya ayah yang serba bisa. Dikatakan serba bisa, sebab Kakek Amir dalam pandangan Bapak punya ilmu yang banyak tur aplikatif. Kakek Amir bisa membuat ragam mebel, membuat atau membetulkan mesin, bisa mengolah makanan dan bahan kerajinan, serta tidak pelit mengajarkan keahliannya kepada sejumlah saudaranya. Kakek Amir bahkan punya Ayah (buyut saya) seorang kapten kapal.

Hasil pengajaran keahlian yang diturunkan Kakek Amir kemudian bermanfaat, di mana beberapa saudara-saudara kami bisa membuka bisnis macam-macam dan dapat sumber penghasilan. Atas ragam jasanya itu, Kakek Amir tidak pamrih, justru bahagia.

Kakek Amir semasa muda merantau dari kampung halamannya di Padang, Sumatera Barat, ke tanah Jawa. Entah bagaimana cerita detailnya, bertemulah ia dengan Nenek Aisyah alias Mak Ecot, di Bogor. Mak Ecot adalah ibunya Bapak, nenek kami.

Baca Juga: Cara Membuat Review Buku

Omong-omong soal Mak Ecot, kalau kalian ingin menertawakan nama panggilannya, tertawalah. Saya juga waktu pertama kali diperkenalkan dengan Nenek Ecot, pun tertawa. Tapi orang dulu memang begitu. Mereka menyebut orang dengan sebutan yang menggelitik perut. Dari Aisyah menjadi Ecot. Ini kocak. Tapi Mak Ecot adalah nenek yang sabar dan super baik. Meski sempat menertawakan namanya, toh ketika berhadapan dengannya, saya tetap hormat dan terkesima dengan kharismanya.

Baiklah, mari kembali ke kisah suami Mak Ecot, yakni Kakek Amir. Karena punya skill, cerdas dan serba bisa, Kakek punya banyak bisnis sehingga mampu menopang ekonomi keluarga. Tapi kondisi itu tidak bertahan lama karena sebuah kecelakaan mobil menderanya. Kakek Amir diceritakan jatuh ke jurang hingga mengalami luka-luka yang cukup serius. Tak sampai di sana, proses pengobatan kakek pun berlangsung lama dan menguras biaya.

Harta benda yang dipunya keluarga Kakek Amir satu per satu dijual untuk biaya pengobatan sekaligus memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Lama-kelamaan, harta itu terkuras tapi Kakek Amir tak kunjung sembuh. Ketika tragedi itu terjadi, Bapak Maruf (bapak saya) berusia sekitar SMP.

Meski tak dikatakan, saya duga Bapak dan seluruh keluarga merasa sedih, tentu saja. Kesedihan pertama karena harus menerima keadaan bahwa Ayahnya sakit parah, kesedihan selanjutnya, karena Kakek Amir sebagai satu-satunya tulang punggung keluarga tengah tumbang. Ekonomi keluarga jadi rapuh. Yang lebih membuat saya sedih, ketika situasi sulit itu terjadi, Kakek Amir dan Nenek Aisyah alias mak Ecot berpisah.

Entahlah, ini perpisahan macam perceraian atau apa. Tapi perpisahan itu membuat Kakek Amir sakit dan sendirian. Makanya kemudian Bapak menyebut Kakek Amir sebagai “A lonely old man”. Perpisahan dan ekonomi yang sulit itu membuat keluarga kakek Amir berpencar-pencar. Mungkin pertimbangan orang tua bapak kala itu, pendidikan dan sekolah anak-anak harus terus berlanjut.

Bapak dititipkan di Jakarta, diurus adiknya Mak Ecot dan disekolahkan juga. Bapak juga harus ikut bekerja membantu bisnis keluarga di sana, sehingga ia juga punya pengalaman di produksi Mi dan Tahu. Saudara-saudara bapak yang lainnya juga dititipkan di saudara yang lain. Tapi bapak tidak menjelaskan secara detil tempatnya.

Hingga tibalah akhir upaya pengobatan Kakek Amir. Bukan karena Kakek sembuh, justru sebaliknya, Kakek pergi untuk selama-lamanya.

Kronologinya begini, Kakek Amir yang sudah lama terbaring di rumah sakit selalu dapat kunjungan, perawatan dan perhatian dari bapak. Hanya bapaklah satu-satunya anak yang mengunjungi Ayahnya, sebab mungkin anak-anak Kakek Amir terbatas jarak sehingga terkendala untuk membesuk kakek.

Bapak tak menyebutkan tanggal dan tahunnya, tapi ketika itu ia masih berusia SMP. Seperti biasanya, Bapak datang berkunjung ke rumah sakit membesuk kakek. Lalu Kakek minta dibelikan makanan, bubur kalau tidak salah. Bapak saya pun segera pergi keluar untuk memenuhi permintaan Kakek. Tapi ketika ia kembali ke bangsal tempat kakek dirawat, yang didapati bapak justru hanya Kakek Amir yang sudah tinggal jasad.

“Ayah pergi gitu aja, pas ditinggal sebentar, langsung udah gak ada,” kata Bapak. Kesedihan itu terasa lagi, bahkan rasanya berkali-kali lipat. Setelah itu kami mengambil jeda. Tanpa dibicarakan, saya dan bapak sepakat untuk sama-sama terdiam beberapa saat.

***

“Kata Uwa Tati (kakaknya Bapak), makam Kakek di Soekarno Hatta ya, Bapak?” tanya saya kemudian, ketika kami sudah sama-sama puas di momen jeda barusan. Sebelumnya, saya memang dapat sedikit cerita tentang kakek Amir dari Uwa. Kata beliau, Kakek Amir pada awalnya dimakamkan di area Bandara Soekarno Hatta. Namun makam itu sudah tidak ada lagi karena kena dampak penggusuran untuk pembangunan bandara.

Makam Kakek dibenamkan begitu saja di sana, tanpa dipindahkan jasad ataupun nisannya. Alasannya, kala itu keluarga besar tak punya biaya untuk membayar proses pemindahan dan pembelian lahan makam yang baru. “Padahal biayanya cuma berapa waktu itu, tapi, ya karena keluarga gak mampu, kita pasrah jadinya,” kata Uwa Tati kala itu, dengan nada bicara yang sedih. matanya juga basah.

Andai saja kala itu saja ada di sana, saya ingin kirim sejumlah uang dari tahun 2018 ke masa itu, sehingga makam Kakek bisa dipindahkan ke tempat lain yang dirasa layak. Sehingga anak cucunya bisa berziarah ke makam yang jelas lokasinya kapanpun kami mau.

Tapi sudahlah. Kata Inul, masa lalu biarlah masa lalu. Siapa sangka, meski tak bermakam, Kakek ditakdirkan punya anak yang sudi bercerita tentngnya. Siapa sangka dia juga ditakdirkan punya cucu yang menuliskan tentangnya, yang ingin selalu mendoakannya di alam sana.

Siapa sangka pula, kisah tentang Kakek Amirsyah berpeluang dibaca oleh keturunan lainnya, juga oleh orang asing lainnya. Semoga banyak orang yang pandai mengambil hikmah dari kisah kakek Amirsyah.

Lagi pula, pasti keluarga Kakek di masa itu juga berpikiran untuk bisa memindahkan makan Kakek ke tempat yang layak. Mereka juga pastinya tidak menginginkan makam itu digusur begitu saja. Tapi apalah daya, ketidakberdayaan membuat mereka tidak kuasa membela penghormatan terakhir terhadap Kakek Amir. “Yang penting sekarang doanya saja, anak cucu harus selalu kirim doa buat Kakek,” kata Uwa Tati kemudian.

Lantas perihal makam Kakek saya konfirmasikan pada Bapak. Ia pun membenarkan tentang kejadian tersebut. Tapi Bapak tak banyak berkomentar tentang kejadian itu. Meski sedih, mungkin memang sudah takdirnya seperti itu. Mau bicara apa pun, kita tidak akan pernah bisa menemukan jejak jasad dan makam Kakek di Bandara Soekarno Hatta. Yang bisa dilantunkan saat ini hanyalah doa. Semoga arwah Kakek Amirsyah tenang di alam sana.

Ketika kisah tentang kakek diakhiri, kereta belum juga datang. Tapi karena adzan dzuhur telah berkumandang, kami pun sepakat untuk mampir ke masjid dekat stasiun dan shalat secara bergantian. Di tengah perenungan, saya merasa bersyukur bisa tahu sedikit tentang sejarah keluarga. Saya juga senang bisa menuliskannya di sini, sehingga cerita ini berpeluang dibaca oleh saudara-saudara yang lainnya, atau bahkan diketahui oleh anak dan cucu saya di masa depan.

Untuk saat ini, entah apa manfaat yang saya dapatkan secara nyata, tapi dengan mengetahuinya, saya bisa merasa bangga punya karuhun yang tingkat kesabaran dan ketabahan luar biasa. Meski keturunan Amirsyah tidak punya banyak kenangan dengan kakek, meski foto dan makamnya pun kami tak punya, cerita tentang Kakek Amir tetaplah menggugah hati.

Kecerdasan dan ketabahannya dalam menjalani segenap tragedi diharapkan menjadi fondasi bagi kita, keturunan Amirsyah, agar bisa terampil dalam bertahan hidup, pun berjuang di kehidupan yang serbamengejutkan ini.

Maka dari itu, bersyukurlah bagi kalian yang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bisa mengunjungi kakek dan nenek ke alamat yang jelas, entah itu ke rumah (jika mereka masih hidup), atau ke makam bernisan (jika mereka sudah meninggal). Beruntunglah kalian, sebab masih bisa berinteraksi dengan mereka diiringi hati yang lega.

IMG-20180616-WA0006

 


Sumber Gambar dari sini

Diterbitkan oleh

soniafitri

Menandai perjalanan hidup dengan serangkaian catatan. Kontak: soniafitri@gmail.com atau WhatsApp langsung ke 081932186616

2 tanggapan untuk “Mengabadikan Jejak Kakek Amir yang Tertinggal di Bandara”

Tinggalkan komentar